MENEMPA
KEMBALI MENTAL JUARA MERIAM LONDON
Beberapa
waktu lalu empat mantan pemain Arsenal sempat curhat ke media mengenai
bagaimana pengalamannya semasa berseragam merah London Utara itu. Empat orang
itu antara lain Bacary Sagna, Robin van Persie, Cesc Fabregas, dan Ashley Cole.
Mari kita simak curhatan mereka:
1. Bacary
Sagna
Suami
dari Ludivine Sagna ini pernah mengakui bahwa para pemain Arsenal sudah minder sebelum
menghadapi tim-tim rival, terutama rival sekota, Chelsea. Para pemain sudah
kalah sebelum masuk lapangan. Memang saat itu secara kualitas pemain-pemain
Chelsea lebih baik dari Arsenal, namun menurutnya Arsenal mampu mengalahkan
London Biru apabila mereka bersatu.
2. Robin Van
Persie
Pemain
ini menghebohkan sepakbola Britania Raya di pertengahan tahun 2012 karena
kepindahannya langsung ke rival bebuyutan. Van Persie hijrah ke Manchester United
dari Arsenal dengan jumlah transfer 30 juta poundsterling. Sontak Van Persie mendapat
hujatan keras dari fans Meriam London. Namun ada satu hal yang tidak diketahui
banyak orang, yakni alasan di balik kepindahannya. Rupanya dia tidak disodori
kontrak baru oleh manajemen Arsenal, padahal kontraknya setahun lagi berakhir
saat itu. Van Persie sendiri ingin sekali bertahan, bahkan menambahkan 1 juta
pondsterling miliknya jika dibutuhkan. Tak kunjung mendapat kepastian, Manchester
United meminangnya dan Van Persie pun menyetujuinya.
3. Cesc
Fabregas
Fabregas adalah
salah satu wonderkid menjanjikan Arsenal pada masanya. Fabregas pindah ke
Barcelona pada musim panas tahun 2011 karena ingin mendapat trofi bergengsi
yang tidak kunjung ia dapatkan di Meriam London. Ia pernah bercerita, di
lapangan hanya dia sendiri yang berjuang, yang berusaha keras, pemain lain
seakan tidak bernafsu untuk meraih kemenangan, berlari gontai ke sana ke mari
tanpa tujuan. Bermain setiap pekan hanya menjadi formalitas untuk menggugurkan
kewajiban. Tak heran jika ia pindah ke Barcelona, yang tentu lebih serius untuk
meraih gelar.
4. Ashley Cole
Pemain ini
juga sempat menggemparkan pecinta Liga Primer Inggris dengan menyeberang ke
rival sekota, Chelsea. Cole menjadi bagian dari transfer pertukaran pemain dengan
William Gallas pada musim panas tahun 2006. Dia menuturkan alasan kenapa dia
pindah ke Chelsea, yaitu dia tidak melihat adanya niat dari manajemen untuk mengganti
pemain-pemain bintang yang mulai menua saat itu. Robert Pires hijrah ke Villareal
di tahun yang sama, Thierry Henry ke Barcelona setahun kemudian, Jose Antonio
Reyes mudik ke Spanyol membela Real Madrid, dan Dennis Bergkamp pensiun. Dengan
begitu, dia tidak melihat peluang untuk meraih trofi lagi di Meriam London. Prediksi
yang dengan sedihnya menjadi kenyataan.
Dari cerita
beberapa pemain di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa penyebab menurunnya performa
Arsenal akhir-akhir era Arsene Wenger bukan faktor pelatih saja. Memang harus
diakui, strategi dan taktik Wenger sudah termakan zaman, namun manajemen yang
seharusnya mendukung kinerja Wenger juga turut andil dalam merosotnya performa
The Gunners. Manajemen tidak mampu memagari pemain-pemain bintang yang ingin
hengkang. Strategi pelatih yang usang ditambah manajemen yang buruk membuat
semangat kompetitif pemain semakin menurun setiap tahunnya. Keadaan ini berimbas
kepada runtuhnya aspek paling fundamental, yaitu mental pemain.
Aspek mental
inilah yang menjadi masalah utama Arsenal. Di saat-saat krusial, di mana
Arsenal seharusnya di atas kertas meraih kemenangan, justru meraih hasil imbang
bahkan kalah. Situasi ini selalu terjadi
hampir setiap tahun. Hanya satu pertandingan yang benar-benar memuaskan saya
saat The Gunners bermarkas di Emirates, yakni saat menumbangkan AC Milan―juara
bertahan Liga Champions saat itu―di San Siro 2-0. Tongkat estafet kepelatihan berlanjut
ke Unai Emery pun tidak mengubah keadaan. Saat Aubameyang dkk. berpeluang meraih
posisi 4, peringkat terakhir untuk lolos ke Liga Champions, justru menyia-nyiakan
kesempatan itu. Padahal di saat yang sama, Chelsea, Manchester United dan
Tottenham Hotspur juga tidak stabil performanya menjelang akhir musim
2018/2019. Situasi ini membuat fans Arsenal menjadi sufi yang zuhud, berkat kesabaran
dan qanaah (menerima apa adanya) yang tinggi dalam mendukung Meriam London.
Kini tongkat
estafet dipegang Mikel Arteta, Legenda sendiri yang pernah membela The Gunners
dari 2011-2016. Pengalamannya kala menjadi asisten pelatih Pep Guardiola di
Manchester City mulai berbuah manis. Sudah dua trofi yang disumbangkan Arteta, yakni
Piala FA dan Community Shield tahun 2020. Berdasarkan informasi yang saya
himpun dari berbagai sumber, ada tiga syarat menjadi tim sepak bola yang hebat
dan meraih banyak trofi, antara lain pola permainan yang bagus; efektif dalam
mengeksekusi peluang; dan mental yang kuat di saat-saat genting. Arteta sudah
memenuhi dua syarat pertama. Permainan Arsenal sekarang di bawah Arteta sangat tenang
dan rapi. Sirkulasi bola cukup bersih sehingga pemain-pemain mampu menciptakan banyak
ruang di pertahanan lawan. Tidak perlu melakukan banyak umpan pendek seperti di
Era Wenger. Efektivitas mulai terlihat di Piala FA, saat melipat Manchester City
di semifinal dan Chelsea di final. Saat semifinal Arsenal hanya perlu melakukan
4 shots on target untuk menjebol 2 kali gawang The Citizens. Di final, Meriam
London cukup melakukan 3 shots on target untuk menggetarkan jala Singa
London dengan jumlah yang sama.
Saya mempercayakan
sepenuhnya ke Arteta perihal pola permainan, taktik dan strategi. Sanad keilmuan
Arteta tersambung ke Johan Cruyff―Bapak Total Football―melalui Pep Guardiola. Prinsip-prinsip
permainan yang ditetapkan Johan Cruyff kurang lebih sama dengan Arteta, hanya
penerapannya di lapangan saja yang berbeda karena menyesuaikan dengan kemampuan
para pemain. Kini tinggal meningkatkan mental pemain ke level yang lebih tinggi.
Untuk kompetisi Eropa, Arteta bisa menilik Liverpool saat menjuarai Liga
Champions tahun lalu. Mereka mampu melewati hadangan tim-tim elit sekelas Bayern
Muenchen dan Barcelona di fase gugur. Di pentas Liga Primer, Arteta bisa
bernostalgia dengan performa Arsenal saat menjuarai Liga tahun 2004 dengan
status tanpa terkalahkan. Saat itu Arsenal kerap bangkit dari ketertinggalan
dan meraih kemenangan di akhir pertandingan, terutama menjelang musim 2003/2004
berakhir. Liverpool 2019 dan Arsenal 2004 adalah contoh bagus untuk Arteta dalam
upaya meningkatkan mental The Gunners saat ini.
Yang lalu biarkan berlalu. Kesalahan di masa lalu patut menjadi pelajaran untuk internal klub. Manajemen dan jajaran kepelatihan harus saling mendukung supaya Arsenal mampu menggapai prestasi lebih baik di masa depan. Jika internal klub sudah kondusif, para pemain bisa fokus memikirkan bagaimana bisa meraih hasil maksimal di dalam lapangan. Dampak selanjutnya adalah pemain-pemain bintang lebih betah dengan visi misi klub yang lebih jelas dan mental pemain bisa meningkat. Bukan tidak mungkin dengan mental yang kuat, Arsenal mampu merengkuh trofi Liga Champions suatu saat nanti, trofi yang diidam-idamkan fans selama ini.
Dimuat di kanal lainnya, sedikit perubahan kata namun tidak mebgubah intinya. silakan dicek :
https://fandom.id/artikel/analisis/menempa-kembali-mental-juara-arsenal/
https://goonersreportindonesia.blogspot.com/2020/09/menempa-kembali-mental-juara-meriam.html?m=1
Komentar
Posting Komentar