CINTAILAH SEPAKBOLA INDONESIA SEWAJARNYA



Tahun 2017, Banu anggota La Viola Tangerang Selatan meregang nyawa saat menonton pertandingan lanjutan Liga 2 antara Persita Tangerang melawan PSMS Medan. Setahun kemudian, Haringga Sirila seorang Jakmania tewas dikeroyok massa pendukung Persib Bandung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api sebelum laga panas antara Persib melawan Persija. Di tahun yang sama, seorang pendukung PSIM Yogyakarta juga harus pulang tinggal nama setelah bentrok dengan pendukung PSS pada pertandingan lanjutan Liga 2 antara PSIM melawan PSS Sleman. Ketiga korban ini menambah panjang daftar korban jiwa akibat kerusuhan suporter sepak bola di Tanah Air. Bahkan peristiwa yang lebih memalukan terjadi tahun lalu ketika tim nasional Indonesia berjumpa Malaysia di laga kualifikasi Piala Dunia 2022. Salah satu suporter Malaysia pingsan akibat lemparan batu suporter Indonesia di Stadion Gelora Bung Karno. Liga 1 2020 akan bergulir kembali setelah jeda panjang akibat pandemi Covid-19. Bukan tidak mungkin, tragedi yang sama akan terulang kembali, jika kita tidak bisa menahan diri dan belajar dari yang sudah-sudah.  

            Saya mempunyai beberapa kisah unik mengenai rivalitas sekitar saya, terutama mengenai sepakbola Indonesia. Berikut pengalaman saya.

1.       Rivalitas Persib dan Persija

Untuk klub Liga Indonesia, saya mendukung Persib Bandung, meskipun hanya menonton dari televisi. Saya mungkin bisa digolongkan sebagai Bonjovi (Bobotoh Nu Lalajo di Tivi). Orang tua melarang menonton sepak bola lokal, karena peristiwa yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Pernah saya dan Raka, teman SMA yang juga pendukung Persib sedang nongkrong. Malamnya ada pertandingan semifinal Piala Presiden tahun 2015 antara Persib Bandung dan Pusamania Borneo. Terjadi percakapan sebagai berikut:

T: “Cuy NgePES yuk”

R: “Eh entar malem Persib maen ya? Nonton Persib dulu aja.”

T: “Iya sih, tapi nonton di mana? TV lu kan rusak.”

R: “Ke Warkop aja. Abis itu baru Ngepes.”

T: “Tapi gua ngeri. Di sini kan basis The Jak.”

R: “Tir, Warkop itu rata-rata orang Sunda. Pasti nonton Persib juga. Tenang aja.”

T: “Oke deh kuy kita ke Warkop”

Kami berangkat ke salah satu warung kopi di Kelapa Dua, Depok. Benar saja, penjual warung kopi menayangkan pertandingan Persib di televisi. Awalnya hanya ada tiga orang, yaitu kami berdua dan penjual warkop. Tak lama ada dua orang yang tampaknya pelanggan warung kopi tersebut, karena cukup akrab dengan penjualnya. Mereka bercakap berbahasa Sunda. Dua pelanggan tadi juga ikut menonton. Total ada lima orang yang menonton Persib. Sempat tertinggal, Persib mampu bangkit dan unggul di akhir laga akibat aksi ciamik Makan Konate dengan menorehkan satu gol dan satu asis. Kami berlima bersorak kegirangan ketika Persib berhasil mencetak gol kemenangan. Skor akhir 2-1 untuk kemenangan Persib dan Maung Bandung lolos ke babak final berkat agresivitas gol tandang. Tidak ada sekelompok anak The Jak yang sweeping ke warung kopi. Kami menikmati pertandingan Persib malam itu dengan aman dan nyaman.

Selain Persib, saya tak lupa mendukung tim tempat saya tinggal, Persikad Depok. Masalah terjadi ketika ada pertandingan Persikad. Banyak yang memakai atribut Persija dan Persib ketika menonton Serigala Margonda bermain. Memang kebanyakan masyarakat Depok mendukung Persija, namun tak sedikit pula yang mendukung Persib. Gesekan dikhawatirkan terjadi saat mendukung tim kebanggaan. Akhirnya petinggi suporter berinisiatif membuat peraturan. Tidak boleh memakai atribut Persija maupun Persib saat Persikad berlaga. Langkah yang diambil petinggi suporter Persikad patut diapresiasi, karena mampu menjaga kondusivitas di tengah sengitnya rivalitas Persija-Persib.

2.       Rivalitas Derby Yogya

Saya lahir di Jakarta, namun kedua orang tua saya merupakan orang perantauan. Kedua orang tua saya berasal dari Piyungan, Bantul. Bapak mendukung klub kebanggaan di kampung halaman yakni Persiba Bantul. Bapak bersuka cita ketika Persiba Bantul menjadi juara di Liga Ti-Phone Divisi Utama tahun 2011. Ketika PSS Sleman promosi ke kasta tertinggi tahun lalu, Bapak pun juga mendukung PSS, terlebih musim lalu tim yang berjuluk Super Elang Jawa ini bermain dengan umpan-umpan pendek di bawah asuhan Seto Nurdiantoro. “Mainnya PSS kayak Barca Nang, bagus banget”, Ujar beliau saat itu. Untuk klub Eropa, Bapak memang mendukung Barcelona, tak heran bila berkata seperti itu. Tak lupa Bapak juga mendukung PSIM Yogyakarta agar segera promosi ke Liga 1. Intinya, Bapak mendukung PSIM, PSS, dan Persiba secara bersamaan tanpa ada rasa benci sedikitpun. Situasi ini berbalik ketika kita mengunjungi kota Gudeg itu secara langsung. Konon adalah hal tabu jika kita menanyakan kepada warga sana “Kowe PSIM opo PSS?”. Niscaya semua mata akan melotot kepada anda.

Pada akhirnya, yang mampu menyelesaikan masalah ini sampai ke akar-akarnya hanyalah kita sendiri, seluruh pecinta sepakbola di Tanah Air. Bukan PSSI, kepolisian, atau institusi lainnya. Pertama-tama yang perlu dibenahi adalah mengubah mindset kita, dari sekadar unjuk gigi di kubu rival menjadi fokus untuk menjadi yang terbaik di Indonesia, bahkan jika mampu di Asia. Kita juga perlu memperkaya literasi untuk memperbaiki sepakbola kita yang masih amburadul. Masih banyak masalah di sepakbola kita, tak perlu ditambah dengan rivalitas yang melampaui batas.

Sepakbola sudah menjadi hiburan rakyat sejak zaman penjajahan Belanda. Namun kita tidak boleh lupa akan nalar pikiran dan hati nurani. Jika sudah terjadi kekerasan bahkan muncul korban jiwa atas nama sepakbola, tandanya kita masih belum dewasa menghadapi persaingan. Rivalitas memang penting, tapi cukup 90 menit di dalam lapangan untuk meningkatkan kualitas dan prestasi, bukan sebagai ajang memproduksi tumbal nyawa di setiap pertandingan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini