RESENSI
BUKU JEAN PAUL SARTRE: MELURUSKAN KESALAHPAHAMAN TENTANG FILSAFAT
Kali ini penulis akan membahas buku yang belum lama penulis selesai baca. Buku ini berjudul Eksistensialisme dan Humanisme karya Jean Paul Sartre. Jujur, penulis awalnya tidak tahu kalau buku ini membahas filsafat. Penulis membeli buku ini karena tertarik dengan kata Humanismenya. Penulis beli buku ini sekitar tahun 2018 dan belum siap membaca waktu itu karena cukup sulit memahaminya, selain karena sibuk menyusun skripsi dan tetek bengeknya.
Buku ini adalah terjemahan dari buku aslinya yang berjudul Exixtensialism dan Humanism yang diterbitkan oleh Melthuen & Co. Ltd. di London tahun 1960. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Yudhi Murtanto dan diterbitkan oleh Pustaka Pelajar di Yogyakarta tahun 2002.
Penulis merangkum
beberapa point dari isi buku ini, antara lain:
1.
Eksistensialisme tidak mengakui adanya
nilai-nilai dan norma-norma. Sartre menolak norma dan nilai karena Sartre
menganggap norma dan nilai tidak bisa menunjukkan manusia ketika dihadapkan
pada pilihan-pilihan tertentu. Sartre berdampingan dengan agama Kristen dan
Katolik di lingkungan sekitarnya. Ia menganggap Kristen dan Katolik penuh
dengan dogma-dogma. Dogma inilah yang ia tolak. Di buku ini Sartre mencontohkan
seorang pemuda Perancis yang harus memilih antara ikut perang bersama negaranya
atau menjaga ibunya di rumah. Ayahnya menjadi mata-mata musuh. Kakaknya tewas
dalam perang. Tinggal ia dan ibunya sendiri di rumah. Pemuda ini memilih untuk tetap
tinggal bersama ibunya di rumah.
2.
Manusia adalah subjek, bukan objek. Manusia
adalah subjek, karena manusia diliputi ketidakpastian. Teori eksistensialisme berprinsip
subjektifitas murni. Manusia masih mengalami kemungkinan-kemungkinan selama
hidupnya. Bukti yang dicontohkan Sartre yaitu adanya hipotesis dalam penelitian
atau eksperimen.
3.
Humanisme yang dimaksud adalah manusia
sepanjang hidupnya berada di luar dirinya sendiri. Manusia selalu dalam proyeksi
dan menghilangkan diri mengatasi dirinya sehingga ia menjadikan manusia ada. Di
sisi lain, dengan mengejar tujuan yang transenden sehingga ia sendiri dapat mengada.
Manusia adalah pusat transendensi. Tidak ada legislator, selain manusia itu
sendiri. Manusia dengan bebas harus memutuskan untuk dirinya sendiri. Manusia
dapat merealisasikan diri menjadi manusia sejati.
4.
Doktrin tindakan nyata. Doktrin tindakan
nyata yang dimaksud adalah kita harus melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan
yang kita inginkan. Doktrin tindakan nyata menepis kritikan dari kalangan
Kristen yang menganggap aliran filsafat ini sebagai doktrin yang tidak
mempunyai keinginan/harapan.
5.
Manusia harus mempunyai kebenaran untuk
mendefinisikan kemungkinan. Sebelum ada kebenaran, kebenaran apapun, pasti ada
kebenaran absolut. Kebenaran absolut itu sederhana, mudah didapat, dan berada
dalam jangkauan setiap orang, Kebenaran absolut itu adalah kesadaran diri
manusia.
Filsafat Haram?
Filsafat
dianggap haram bukan tanpa alasan. Salah satu ustad penulis dahulu melarang
belajar filsafat karena ilmu ini menanyakan segala sesuatu. Memang ada aliran
filsafat yang menanyakan segala sesuatu, saya lupa namanya pernah liat di
timeline twitter. Dikhawatirkan pertanyaan yang timbul dari filsafat ini mengenai
Ketuhanan sehingga menggoyahkan keimanan. Islam melarang berpikir seputar Ketuhanan
karena ranah Ketuhanan tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Menurut
buku ini Kristen juga mengecam aliran ini karena dianggap “aliran tanpa
pengharapan”. Padahal Sartre menjelaskan bahwa kita boleh berharap, dengan
catatan ada usaha untuk menggapai harapan atau keinginan tersebut. Sartre merasa
dogma-dogma dalam Kristen tidak bisa menuntun ketika kita dihadapkan pada
pilihan-pilihan dalam menjalani hidup. Contohnya pemuda tadi, apakah harus ikut
berperang atau menjaga ibunya. Pilihannya berupa menjaga ibunya bukan
berdasarkan dogma-dogma Kristen, namun berdasarkan legitimasi pemuda itu
sendiri. Setidaknya begitu menurut Sartre. Sartre nampaknya belum mendapatkan titik
temu antara teorinya dengan ajaran Kristen. Oleh karena itu Sartre menganut
atheis.
Aliran
filsafat eksistensialisme tidak menanyakan segala sesuatu. Maksud dari aliran
filsafat ini adalah kita harus melakukan sesuatu untuk menggapai tujuan kita,
untuk menegaskan eksistensi manusia. Sartre mencontohkan Picasso, seorang seniman,
tidak akan diketahui tanpa melalui karya-karyanya. Jadi seseorang harus
membuktikan eksistensinya dengan melakukan sesuatu. Inilah yang dimaksud Sartre
sebagai doktrin tindakan nyata. Bisa dibilang ini cukup logis dan masuk akal. Doktrin
tindakan nyata ini sesuai dengan salah satu bagian dari ajaran Islam, yaitu
ikhtiar. Ikhtiar adalah terus berusaha sambil berdoa untuk mendapatkan/mencapai
sesuatu. Di sini kita melihat ada titik temu atau kesamaan antara doktrin
tindakan nyata dan ikhtiar, yaitu sama-sama harus melakukan sesuatu atau
berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Setidaknya kita berhasil
menemukan satu kesamaan dari salah satu aliran filsafat. Konsep humanisme,
subjektivitas, dan kebenaran absolut berupa kesadaran diri manusia juga cukup dapat
dipahami.
Bagaimana Kita Menyikapi
Filsafat?
Penulis mengambil sikap dari aliran
filsafat ini sama seperti masalah-masalah lainnya, yaitu mengambil sisi
positifnya dan meninggalkan sisi negatifnya. Hal positif yang bisa diambil dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah doktrin tindakan nyata. Eksistensialisme, mengajak untuk melihat
realitas kehidupan yang kita hadapi sebelum menginginkan sesuatu. Dengan begitu,
kita tidak akan terlalu kecewa ketika hal yang kita impikan tidak sesuai dengan
kenyataan yang terjadi, karena impian kita lebih realistis. Hal negatif yang
perlu ditinggalkan yakni status Sartre sebagai penganut atheis, terlepas dari
alasannya yang cukup masuk akal.
Bagaimana
untuk filsafat secara umum? Sejatinya filsafat adalah ilmu tentang berpikir,
apapun itu. Filsafat mengajak kita untuk berpikir dari segala sisi atau sudut pandang, sehingga kita bisa menyelesaikan masalah dengan win win solution tanpa ada pihak yang dirugikan. Jika ada kerugiannya sangat minim. Tokoh-tokoh yang terkenal adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka adalah
tonggak awal pemikiran para filsuf selanjutnya, termasuk Jean Paul Sartre. Dunia
Islam pun memiliki banyak filsuf dalam sejarahnya, seperti yang terkenal antara
lain Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Imam Ghazali, Jalaludin Rumi, dan sebagainya.
Filsafat adalah cikal bakal ilmu-ilmu yang berkembang saat ini: politik, hukum,
kesehatan, sains, sejarah, dan sebagainya. Sebenarnya banyak hal positif yang
bisa kita ambil dari filsafat, meski juga mempunyai sisi negatif. Maklum, tak ada
gading yang tak retak. Filsafat adalah buah pemikiran manusia, makhluk yang
tidak pernah lepas dari kesalahan dan kekurangan. Seperti penulis katakan sebelumnya,
mari ambil positifnya dan buang negatifnya. Filsafat bisa menjadi inspirasi dalam
menjalani kehidupan, tentunya bila kita menyikapinya dengan bijak.
Komentar
Posting Komentar