MERESAPI
KEBAHAGIAAN SEORANG PENGGEMAR ARSENAL
Hari
minggu pagi yang cerah di pertengahan tahun 2004, seorang anak kecil berusia 8
tahun sedang asyik menonton televisi. Anak itu mencari kartun, kesukaan yang
lazim bagi anak seusianya. Namun dia terkesima pada salah satu channel
yang menayangkan pertandingan sepak bola. Dia heran, pemain bernomor punggung
14 disertai nama Henry selalu disorot kamera. Entah mengapa, mulai saat itu juga dia mengidolakan
klub yang dibela pemain tersebut, yaitu Arsenal. Seiring berjalannya waktu, sang
bocah mengetahui bahwa pemain tersebut adalah andalan utama Arsenal, terutama
dalam urusan mencetak gol. Sang bocah pun semakin mencintai klub asal London
Utara tersebut.
Ya, anak
kecil itu adalah saya sendiri. Saya menyukai Arsenal semenjak saya masih duduk
di bangku kelas tiga sekolah dasar. Televisi saat itu menyiarkan siaran ulang
Liga Primer Inggris saat weekend, sekitar pukul tujuh sampai sembilan pagi.
Kemudian saya mengenali pemain-pemain selain Thierry Henry. Mulai dari Jens
Lehmann, Julio Baptista, Phil Senderos hingga wonderkid masa itu, Cesc Fabregas
dan Emanuel Adebayor. Teman-teman saya, baik di lingkungan rumah maupun sekolah
juga banyak yang menyukai Arsenal. Tahun 2004-2006 memang masa puncak keemasan
Arsenal, dari menjuarai Liga Inggris dengan status Invincibles tahun
2004 hingga mencapai final Liga Champions tahun 2006. Thierry Henry mendapat
sepatu emas dalam rentang waktu tersebut berturut-turut, sebagai pencetak gol
terbanyak di Liga Inggris. Wajar bila banyak yang menyukai Arsenal. Ah, betapa
indahnya masa itu.
Tahun 2007
selepas lulus SD, saya melanjutkan pendidikan di pesantren. Saya mengenyam pendidikan
pesantren selama enam tahun, mulai dari Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP)
hingga Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Di lingkungan pesantren, bukannya
luntur, kecintaan saya pada Arsenal malah semakin menguat. Saya selalu membaca tabloid
Bola yang disediakan perpustakaan untuk mengikuti info terkini seputar sepak
bola. Sayangnya Arsenal justru memasuki masa kelam saat itu. Meriam London
tidak kunjung menjuarai trofi apapun, bahkan untuk Piala FA dan Piala Liga sulit
sekali tampaknya. Saya sempat ‘banting setir’ menjadi penggemar Barcelona, yang
saat itu sedang gila-gilanya di bawah asuhan Pep Guardiola.
Namun tak
lama berselang, saya memutuskan untuk kembali ke pangkuan Meriam London. Hanya beberapa
bulan saja saya menjadi penggemar Barcelona. Sepertinya ruh Arsenal telah menyusup
ke dalam hati dan pikiran, seakan-akan membisiki saya, “Hei, dukunglah aku dalam
keadaan apapun, kamu tak akan menyesal”. Benar saja, selepas lulus dari
pesantren dan masuk perkuliahan, Arsenal berhasil menuntaskan dahaga gelar 9
tahun dengan merengkuh trofi Piala FA. Sudah tiga trofi piala FA dan tiga piala
Community Shield yang direngkuh pasca 9 tahun yang kelam itu. Lega dan senang sekali rasanya. Selanjutnya saya selalu mengikuti perkembangan
Arsenal, dari akhir-akhir masa kepelatihan Arsene Wenger, Unai Emery, hingga Mikel
Arteta sekarang ini.
Bagi kebanyakan
Gooners, yang paling dibanggakan dari Arsenal adalah juara Liga Primer Inggris dengan
status tak terkalahkan tahun 2004. Harus diakui, juara dengan status tak
terkalahkan sangat sulit dicapai, terlebih sepak bola modern seperti saat ini. Namun
bagi saya, ada hal-hal lain selain prestasi dan rekor yang membuat saya bahagia
menjadi penggemar Arsenal, meski saat ini masih kurang dari segi prestasi.
Faktor yang
pertama yaitu slogan Arsenal. Slogan yang menjadi dasar pemikiran klub adalah “Victoria
Concordia Crescit” yang berarti “kemenangan tumbuh dari keharmonisan”. Bagi
Arsenal, keharmonisan merupakan pondasi awal menuju kejayaan. Setiap insan di
dalam klub harus hidup rukun dan bahu-membahu bekerja sama tanpa mengedepankan
ego pribadi supaya tujuan utama klub bisa dicapai: prestasi. Situasi ini akan
melahirkan altruisme, yaitu sifat yang lebih mengedepankan kepentingan orang
lain daripada diri sendiri. Dalam tatanan masyarakat pun juga begitu. Setiap anggota
masyarakat harus hidup rukun dan harmonis serta menghormati peraturan setempat supaya
terciptanya kehidupan yang nyaman, aman dan tenteram. Ini merupakan pelajaran
sekolah dasar yang sangat memalukan bila kita masih belum memahaminya.
Kemudian mengenai
dedikasi dan komitmen. Arsene Wenger sudah mencontohkan kepada kita semua untuk
masalah ini. Konon, Wenger pernah ditawari menjadi pelatih Real Madrid, bahkan
sampai dua kali. Tapi beliau tidak tergiur mewahnya Santiago Bernabeu. Wenger berkomitmen
mengawal pembangunan stadion Emirates sejak peletakan batu pertama tahun 2004 hingga
hutang pembayaran stadion lunas tahun 2014. Beliau juga memberikan asupan gizi baru
pemain dengan menambahkan sayuran dan ikan, berbeda dari sebelumnya yang lebih
berorientasi pada daging. Beliau benar-benar mewakafkan waktu dan tenaganya
hanya untuk Arsenal. Sampai-sampai harus bercerai dengan istrinya, supaya bisa
meluangkan waktu lebih banyak untuk klub. Wenger pasti menangisi perceraian itu
dalam kesendirian, kita saja yang tidak tahu. Sungguh pengorbanan yang
totalitas dari seorang Arsene Wenger. Komitmen juga diamini oleh Mikel Arteta saat
wawancara dengan Ian Wright beberapa waktu lalu. Arteta menegaskan semua pemain
harus mengerahkan tenaganya untuk kepentingan klub. Penting untuk meningkatkan
komitmen di tengah masa transisi.
Ketiga,
tentang mengejar mimpi. Sekitar tahun 2002, Arsene Wenger pernah menyatakan
pada media bahwa ia ingin mengantarkan Arsenal meraih juara tanpa terkalahkan. Sontak
media mentertawakannya, bahkan meledek Wenger dengan ejekan “Comical Wenger”.
Namun mimpi Wenger yang sempat ditertawakan itu menjadi kenyataan, tepatnya
tahun 2004. Arsenal menjuarai Liga Inggris dengan status Invincibles, tak
terkalahkan dalam satu musim. Tentu saja awak media bungkam. Tahun-tahun
berikutnya pelatih-pelatih lain berusaha mewujudkan prestasi yang sama. Jose Mourinho,
Sir Alex Ferguson, Pep Guardiola, hingga Juergen Klopp sudah mencobanya, semuanya
berakhir gagal. “Menjadi juara tanpa terkalahkan bukan hal yang tidak mungkin
untuk dilakukan. AC Milan berhasil melakukannya. Jadi saya tidak melihat alasan
mengapa kami tidak bisa melakukan hal yang sama. Anda pikir Manchester United,
Liverpool, atau Chelsea tak memimpikan hal yang sama? Mereka juga ingin melakukannya.
Mereka tak membicarakan hal itu karena mereka takut terlihat aneh”, ujar Wenger
saat itu. Tidak ada peraturan yang melarang kita bermimpi, selama mimpi kita
baik dan tidak merugikan orang lain. Bermimpilah setinggi apapun yang kita mau.
Dennis
Bergkamp pernah berucap, “When you start supporting a football club, you don’t
support because of the trophies, or a player, or history. You support it
because you found yourself somewhere there. Found a place where you belongs”.
Mencintai sebuah klub bukan hanya dilihat dari aspek prestasi, trofi, maupun
rekor tertentu. Kita juga bisa mengambil
nilai-nilai yang bisa diambil dari perjuangan klub yang kita cintai. Bagi saya,
Arsenal mengajarkan harmoni, dedikasi, komitmen, dan pentingnya bermimpi, tidak
hanya sekedar juara tanpa terkalahkan. Saya harus menghaturkan terima kasih
kepada Arsene Wenger, karena beliau menanamkan keluhuran nilai-nilai yang
mengakar kuat pada klub sampai saat ini. Mungkin wanita bisa menolak, namun Arsenal tidak akan pernah menolak cinta saya, untuk selamanya.
Referensi :
Referensi :
Seno, Y. (2018) Arsenal Berhati Nyaman. Edited by M.
Alvianto. Yogyakarta: Fandom.
Wedya, K. B. (2018) Arsenal,
Sebuah Panggung Kehidupan. 1st edn. Edited by A. Nugroho. Jakarta: Kawos
Publishing.
Komentar
Posting Komentar