KARYAMU
ABADI, DIDI KEMPOT
Beberapa
waktu lalu, tepatnya hari Selasa pagi tanggal 5 Mei 2020. Gue bangun agak
siangan, kira-kira jam setengah 9 pagi setelah makan sahur dan sholat subuh. Puasa
memang bikin ngantuk. Gue buka HP buat liat info-info terbaru. Namun ada satu
berita yang mengejutkan waktu dibuka. “Breaking News: Didi Kempot Meninggal
Dunia”. Jelas gue kaget, “Ah masa sih? Belum lama naik daun padahal”, Pikir gue
waktu itu. Setelah dicek, ternyata memang benar, Legenda Campursari itu telah
berpulang ke Yang Maha Kuasa.
Meninggalnya
beliau merupakan duka yang mendalam bagi pecinta musik tanah air. Tentu gue
juga sedih. Tidak ada hujan tidak ada angin, beliau tiba-tiba meninggalkan kita
selamanya, tidak ada tanda-tanda masalah kesehatan sebelum wafat. Namun itu
semua merupakan takdir Sang Maha Kuasa, kita tidak bisa mengubahnya sedikitpun.
Bagi gue
yang merupakan keturunan orang Yogyakarta, nama Didi Kempot sudah lama masuk ke
telinga. Dulu Bapak beliin kaset radio Didi Kempot waktu gue masih SD, sekitar tahun
2003-2004 lah. Lagu Didi Kempot yang terkenal waktu itu Sewu Kutho sama Stasiun
Balapan. Meski keluarga udah pindah ke Jakarta sejak tahun 1995 lalu menetap di
Depok, budaya Jawa jelas ga boleh ilang dari keluarga. Waktu Bapak sama Ibu
arisan pun sering muter lagu Campursari. Maklum, temen bapak gue juga banyakan
orang Jawa, jadinya seleranya kurang lebih sama. Awalnya gue kira paling
belasan atau puluhan lagu kayak musisi lainnya. Ternyata udah ada ratusan, ada
yang bilang 800 ada yang bilang 1000. Edan ternyata, bisa bikin lagu sebanyak
itu. Layak disebut legenda, ga banyak musisi bisa bikin lagu sebanyak itu. Kontribusinya
buat musik tanah air luar biasa.
Selain itu,
menurut kru Mojok.co waktu wawancara di Solo tahun lalu, Sang Legenda orangnya
berwibawa besar, namun tetep rendah hati dan supel. Ngobrolnya ngalir aja gitu.
Didi Kempot pun tampil apa adanya, bahkan setelah terkenal dan sering manggung di
TV akhir-akhir ini. Beliau tetap mengenakan blangkon, penutup kepala khas orang
Jawa. Lagu yang dibawa pun tetap lagu-lagu Campursari dengan Bahasa Jawanya
yang kental. Bahkan lagunya bisa dinikmati orang non-Jawa. Pernah gue liat
video orang Papua joget-joget nyanyi lagu Sewu Kutho bareng Sang Maestro di
atas panggung. Menurut info itu pas lagi konser di Surabaya. Ga ada
malu-malunya ikut joget di atas panggung. Memang kalo udah ngerti arti lagu-lagunya
dalem banget maknanya. Terakhir manggung
di Kompas TV waktu konser amal, duitnya langsung dikasih semua, buat NU dan
Muhammadiyah yang donasiin buat wabah Corona. Beliau ga ambil sepeserpun. Ga bisa
diungkapin kata-kata emang.
Lewat lagu-lagunya
yang ambyar, Didi Kempot pernah berpesan “sing uwis yo uwis, lara ati oleh,
ning tetep kerjo lho ya, sebab urip ora diragati nganggo tangismu. Tak dungakke,
kowe entuk bojo sing luweh apik, ketimbang sing ninggali kowe”. Kita ga boleh lama-lama
meratapi patah hati setelah ditolak orang yang kita suka atau diputusin pacar
kita. Roda kehidupan harus terus berputar. Yakinlah, kita pasti dapet yang
lebih baik. Ya, engkau telah mengajarkan kami Legenda. Lewat lagu-lagumu, kita
bisa berjoget ria dan bersenang-senang walaupun sedang patah hati, serta tidak
boleh menyerah menghadapi hidup ini. Terima kasih telah mengharumkan Campursari,
malaikat pasti keberatan membawa catatan-catatan amal baikmu saking banyaknya. Selamat
jalan Legenda, engkau akan selalu di hati kami dan karyamu akan abadi untuk
selamanya.
Berikut salah satu video konser Beliau :
Komentar
Posting Komentar