SEPERCIK NASIHAT DARI UTARA IBUKOTA
Sekitar 5 tahun lalu, seorang guru
pernah menyarankan saya. “Tir, coba kamu ke Luar Batang, ngaji Quran 30 juz di
sana sampe selesai, seenggaknya kamu punya prestasi dalam ibadah selama hidup”.
“Nanti deh tadz kapan-kapan, saya masih sibuk kuliah nih”, jawab saya waktu itu.
Bagi yang belum tahu, Makam Keramat Luar Batang adalah salah satu tempat ziarah yang
cukup banyak dikunjungi umat muslim di DKI Jakarta. Shohibul Maqam
(Penghuni Makam) di pusara tersebut adalah Al-Habib Husein bin Abu Bakar bin Abdullah
Alaydrus. Beliau adalah murid dari Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad pengarang
Ratib Al-Haddad (zikir yang biasa dibaca setelah magrib di masjid-masjid). Secara
administratif, Makam Keramat Luar Batang masuk wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya
Jakarta Utara.
Berdasarkan informasi dari berbagai
sumber, Habib Husein Luar Batang meninggal pada tahun 1756 Masehi. Peraturan
dari pemerintah kolonial Belanda saat itu mengarahkan bahwa umat muslim yang
meninggal harus dimakamkan di Tanah Abang. Ketika jenazah Habib Husein akan
dibawa, tiba-tiba jenazah yang ada di dalam keranda hilang dan muncul di kamar
Beliau. Berkali-kali digotong pindah lagi. Akhirnya Beliau dimakamkan di kamar
Beliau yang menjadi ruangan ziarah saat ini karena selalu berada di luar keranda
(batangan). Inilah asal-usul mengapa disebut Luar Batang.
Akses transportasi umum untuk ke sana cukup
mudah. Kita naik kereta sampai mentok di Stasiun Kota, kemudian naik bajaj. Kita
tinggal bilang pada sopir bajaj “bang, Luar Batang”, sang sopir sudah paham. Tidak
jauh dari Kota Tua yang terletak di samping stasiun. Kurang lebih lima menit
dari stasiun kita sudah sampai di area makam. Kini naik ojol juga sudah bisa
karena lokasi makam sudah tercantum di Google Maps. Memang di Maps lokasi yang
tercantum adalah Parfum Murmer, tapi itu sudah di depan gerbang kompleks makam.
Akses ke sana pun semakin mudah terjangkau.
Setelah berdebat dengan diri sendiri,
akhirnya saran guru saya terwujud tahun lalu, tepatnya hari Rabu pagi tanggal
17 Juli 2019. Tujuan saya berziarah ke sana sederhana, tidak neko-neko: mencari
ketenangan hati dan pikiran serta dilancarkan urusan, khususnya skripsi. Saya datang
pagi-pagi ke sana, berangkat dari Ciputat pukul 06.00 dan sampai di kompleks
makam pukul sekitar pukul 7 lewat. Saya datang pagi supaya bisa pulang lebih
cepat. Kedatangan saya ke Luar Batang tahun lalu bukan yang pertama kali,
melainkan pada tahun 2014 bersama seorang teman. Saat itu depan ruangan makam
masih berupa tanah yang perlu dilewati dengan alas kaki, tepatnya di tempat
saya memfoto. Saat ini, depan ruangan makam sudah diberi marmer, sehingga tempat
untuk jamaah ziarah menjadi lebih leluasa dan tata letak jauh lebih rapi dibanding
saat pertama kali datang.
Setelah selesai
salat Duha dan melafalkan tahlil, saya memulai membaca Alquran. Tampak beberapa
orang membaca tahlil dan ada seorang bapak yang juga mengaji Alquran pada pagi
yang cerah itu. Saya duduk di samping bapak itu, lalu ikut mengaji. Jika waktu
salat tiba, saya rehat dulu, lalu setelah salat lanjut lagi. Kebetulan masjid
berada di samping makam.
Ternyata
bapak itu juga terus mengaji, tampaknya menghatamkan juga. Akhirnya saya
mengobrol dengan bapak itu selepas salat Asar. Beliau berasal dari Madura, namun
sudah menetap di Jakarta serta berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Beliau sudah
di sini (Luar Batang) sejak hari Minggu. Beliau awalnya hanya membaca tahlil di
sini, namun entah mengapa muncul niat untuk sekalian menghatam Alquran. Beliau memutuskan
untuk lanjut menghatam Alquran karena merasa sulit jika dilakukan di rumah,
kecuali di bulan Ramadhan. Tampaknya Gusti Allah mengutus salah satu hamba-Nya
untuk menemani saya.
Di sela-sela obrolan, beliau
menyarankan saya untuk jangan lupa istirahat ketika hataman dan jangan terlalu
lama di sini, mengingat biaya yang dikeluarkan semakin banyak jika tinggal
lebih lama. Beliau juga berpesan untuk berdoa supaya dikabulkan hajat
(keinginan) kita. Sementara saya ingin skripsi dilancarkan, beliau berharap
mendapat pekerjaan tetap. Saya mengikuti saran beliau. Setiap selesai 2-3 juz,
saya tiduran sekadar untuk merenggangkan badan. Saya mentargetkan Kamis malam atau
selambat-lambatnya Jumat pagi sudah selesai menghatam Alquran.
Ketika malam
tiba, suasana menjadi lebih ramai. Banyak rombongan peziarah datang dari luar
kota, bahkan ada yang dari Jawa Tengah. Terjawab sudah mengapa saat ini depan makam
ditambah lapisan marmer. Si Bapak menyelesaikan hataman Rabu malam selepas isya,
lalu tidur untuk beristirahat. Sementara saya terus melanjutkan hataman hingga dinihari.
Saya sempat tidur sekitar dua jam malam itu. Paginya menjelang subuh, beliau
memberikan saya sebungkus roti. Awalnya saya menolak karena tidak mau merepotkan,
namun bapak itu membujuk saya. Akhirnya saya menerima roti itu, cukup untuk mengganjal
perut. Saya memutuskan puasa pada hari itu, sekaligus untuk menghemat
pengeluaran.
Setelah subuh, beliau berpamitan
dengan saya. Beliau akan melanjutkan petualangan ziarahnya ke Makam Mbah Priuk.
Tak lupa sebelum pergi beliau mengucapkan terima kasih karena telah menemani hataman.
Saya pun mengucapkan terima kasih kepada beliau, meski hanya dalam hati.
Setidaknya beliau sudah menemani saya hataman walaupun tidak sampai selesai. Saya
tidak akan pernah melupakan kebaikan bapak itu. Semoga bapak itu sudah
mendapatkan pekerjaan tetap, sesuai hajat yang diharapkan.
Di hari
kedua tepatnya Kamis, saya mengaji seharian penuh. Hataman sudah mencapai
pertengahan Alquran. Malam setelah magrib ada pengajian maulid di masjid, namun
saya tidak ikut. Saya cukup mendengarkan sembari menikmati lontong sayur di halaman
masjid. Hitung-hitung istirahat karena seharian hataman dan berpuasa. Selepas isya
saya mengaji satu juz dan memutuskan untuk tidur cepat, agar bisa bangun
sebelum subuh.
Nah, saat tidur inilah saya menemukan
kejadian luar biasa. Secara keseluruhan mimpi saya memang tidak jelas. Namun di
akhir mimpi terdapat kejadian yang tidak pernah saya lupakan. Muncul seorang kakek
berbaju koko putih, peci putih, sarung putih, jenggot dan kumisnya bersambung
berwarna putih pula. Semuanya serba putih. Kakek itu tiba-tiba menampar pipi
kiri saya. Tamparannya sangat keras, sakit sekali rasanya. Tamparan itu bersemayam
dalam pikiran hingga saat ini.
Tak lama saya bangun, lalu ke kamar mandi untuk buang air. Di kamar mandi saya bertanya dalam hati, siapa gerangan kakek itu? Saya menduga kakek itu adalah Shohibul Maqam, Habib Husein bin Abu Bakar bin Abdullah Alaydrus. Dugaan saya menguat ketika belum lama mencari foto beliau pada masa lampau di internet. Ternyata hampir mirip, sama-sama berjenggot dan berkumis putih, hanya pakaian yang dikenakan berbeda dengan yang ada di dalam mimpi. Lalu muncul pertanyaan kedua, kenapa beliau menampar saya? Setelah dipikir-pikir barulah saya sadar, selama ini salat saya masih bolong-bolong dan ibadah saya berkurang selama kuliah. Tampaknya itu jawaban yang tepat.
Memasuki hari ketiga, masih tersisa 7
juz lagi untuk diselesaikan. Setelah salat subuh saya hatamkan 2 juz, lalu
dilanjutkan hingga selesai saat menjelang salat Jumat. Usai salat Jumat saya
melafalkan tahlil kembali sebagai salam penutup untuk Shohibul Maqam. Lalu saya
meminta doa kepada penjaga makam yakni Habib Muhammad bin Husein Alaydrus.
Habib Muhammad merupakan cucu Habib Husein dan selalu menunggu makam sepanjang
hari. Kemudian saya mengucapkan salam dan langsung pulang ke Ciputat dengan
bajaj dan kereta, sama seperti ketika berangkat. Entah kebetulan atau tidak,
tiga bulan kemudian saya berhasil menunaikan sidang hasil, lalu awal tahun ini
saya berhasil lulus dan wisuda.
Ada dua nasihat yang bisa diambil
dari rekaman perjalanan ini. Nasihat yang memercikkan sanubari kita bagai air
yang membasuh muka di pagi hari. Menyegarkan sekaligus menyadarkan. Dua nasihat
itu antara lain perihal Bapak tadi dan tamparan kakek di dalam mimpi. Bapak yang
menemani saya mengajarkan, bahwa jika kita berniat untuk melakukan kebaikan,
Tuhan pasti akan menolong kita. Tuhan akan mengirimkan salah satu makhluk-Nya
untuk membantu kita, contohnya yang saya alami berupa kehadiran bapak tadi.
Tamparan kakek mengingatkan kita bahwa
kehidupan setelah kematian itu nyata adanya. Kakek yang hadir di dalam mimpi
saya mempertegas ajaran para guru dan orang tua, yang mengajak kita untuk
mengumpulkan pundi-pundi amal kebaikan. Terserah bagaimana caranya, yang
penting bisa mendekatkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bisa ibadah
malam, dekat dengan orang-orang sholeh, perbanyak baca Alquran, dan sebagainya.
Tidak hanya jalan menuju Roma, jalan menuju Tuhan pun demikian, bahkan mungkin
lebih banyak lagi. Ad-Dunya mazro’atul akhiroh, dunia adalah ladangnya
akhirat. Kita harus menanam bibit-bibit kebaikan sebanyak mungkin selama masih berada
di alam dunia yang fana ini. Jangan lupa disiram dengan air keikhlasan, supaya tanaman
kebaikan tumbuh subur sehingga buah-buah pahala bisa dipetik di akhirat nanti.
Referensi :
https://news.okezone.com/read/2013/06/18/500/823811/berburu-berkah-di-makam-habib-luar-batang
Komentar
Posting Komentar