HEI ARSENAL, MARI BERGURU PADA LIVERPOOL DAN LAZIO
Hari Sabtu yang cerah tanggal 23 Oktober
1999 di Stadion Stamford Bridge London, Liga Primer Inggris menggelar pertandingan
antara Chelsea menjamu Arsenal. Di babak pertama, pertandingan berjalan cukup sengit.
Chelsea unggul dahulu melalui Tore Andre Flo yang berhasil menyundul umpan
silang yang dikirim Dan Peterscu dari half-space kiri pertahanan Arsenal.
Tiada gol yang tercipta lagi sampai jeda. Di awal babak kedua, Chelsea kembali menekan.
Di menit ke-52 berawal dari free-kick dan sedikit kemelut, Graeme Le Saux
mengirim umpan silang yang tidak terlalu tinggi, lalu Peterscu yang sebelumnya
membuat assist langsung menanduk bola. Bola menghujam gawang Seaman untuk kedua kali.
Skor 2-0 untuk Chelsea.
Arsenal mampu menyikapi dengan baik. Meriam
London langsung menyerang dengan umpan-umpan pendek. Menit ke-75, Marc Overmars
memberi umpan bawah pada Kanu yang membelakangi gawang Chelsea. Kanu menghentikan
bola, lalu berbalik di depan para bek Chelsea, dan menembak bola. Bola menyusur tanah menuju kiri bawah gawang Chelsea
yang dikawal Ed de Goey. Barisan bek Chelsea terlambat menutup ruang tembak
Kanu. Goey tidak mampu menggapainya, terjadilah gol. Skor 2-1 masih untuk
Chelsea.
Tidak lama kemudian, Arsenal kembali menyerang
setelah Overmars menyergap bola dari jalur umpan para pemain Chelsea. Sedikit kerja
sama dengan Lee Dixon, Overmars mengirim crossing mendatar ke Kanu yang
sudah menunggu di kotak penalti Chelsea. Kanu yang membelakangi gawang menerima
bola lalu mendorong bola sedikit ke depan gawang Chelsea agak ke kiri, kemudian
langsung menembak ke tiang dekat gawang Chelsea. Goey terkejut dan refleknya
terlambat. Gol kembali untuk Arsenal di menit ke-83. Skor kini imbang 2-2.
Chelsea terkejut bukan kepalang. Mereka sudah
unggul terlebih dahulu tetapi keadaan kini seimbang, apalagi menjelang menit
akhir. Pemain Chelsea panik dan terburu-buru dalam membangun serangan, akibatnya
para pemain Chelsea melakukan blunder fatal. Albert Ferrer menyepak bola di depan
Kanu yang sudah menghadangnya, maksudnya ingin menciptakan situasi throw-in,
namun bola yang sudah menggebuk punggung Kanu masih belum keluar. Kanu langsung
merebutnya di ujung kanan kotak penalti Chelsea. Tak ada angin, Goey yang mengawal
gawang Chelsea malah maju menghadang Kanu. Entah apa yang ada di pikiran Goey. Kanu
dengan tenang melewati Goey, lalu mendentum bola dengan sepakan terukur ke
gawang Chelsea dari ruang tembak yang cukup sempit. Bek-bek Chelsea yang sudah
menunggu tak ada yang mampu menghalau bola yang menerjang gawang mereka. Bola memutar
indah melengkung ke tiang jauh menggetarkan jala gawang Chelsea. Skor berbalik
3-2 untuk keunggulan tim tamu di menit 90. Skor bertahan hingga peluit akhir. Sempat
dikabarkan mengalami masalah jantung, Kanu mencetak hattrick dan menjadi
pahlawan Arsenal di 15 menit terakhir. Sungguh momen yang sangat sulit terulang
di masa kini.
Kita maju ke tahun 2008. Arsenal lolos
ke babak 16 Besar Liga Champions. Dari hasil undian, Arsenal bertemu AC Milan,
juara bertahan Liga Champions. Leg pertama digelar di Stadion Emirates―markas Arsenal―terlebih
dahulu. Diharapkan Arsenal mendapat kemenangan setidaknya selisih 1 gol, berhubung
kiper andalan Rossoneri Nelson Dida tidak bisa bermain akibat cedera. Ternyata
leg pertama yang dilaksanakan tanggal 20 Februari 2008 itu berakhir imbang 0-0.
Jelas ada kekhawatiran, karena musim sebelumnya Manchester United dilipat 3-0
di Stadion San Siro―markas AC Milan―meskipun leg pertama The Red Devils sempat unggul
3-2. Skor agregat 5-3 untuk kemenangan AC Milan yang melaju ke final dan
menggondol trofi Si Kuping Besar untuk ke-7 kalinya.
Kebetulan pada leg kedua di San Siro penulis
menonton. Waktu itu masih kelas 1 SMP dan sedang sakit, sehingga tidak masuk sekolah
besoknya. Pertandingan digelar tanggal 4 Maret 2008. Pertandingan berjalan cukup
sengit. Kedua tim silih berganti membuat peluang, namun hingga babak pertama
selesai, skor masih kacamata. Agregat pun masih kacamata. Di babak kedua, suasana
pertandingan tidak banyak berubah. Menit ke-71, Arsene Wenger memasukkan Theo
Walcott sang wonderkid menggantikan Emanuel Eboue.
Penulis sempat mengantuk dan tertidur. Ketika
penulis membuka mata, terlihat bola bersarang di gawang AC Milan. Cesc Fabregas
berselebrasi memeluk Wenger diikuti pemain-pemain lainnya. Ternyata terjadi gol.
Penulis pun sangat senang. Lebih senang lagi ketika melihat tayangan ulang golnya,
karena berasal dari tendangan jarak jauh menyusur tanah dari jarak kurang lebih
30 meter setelah Fabregas mengecoh Gennaro Gatusso. Bola bersarang di sudut kanan
gawang Zlejko Kalac.”Keren banget!!!”, gumam penulis dalam hati. Gol Fabregas terjadi
di menit 84, kurang dari 10 menit jelang peluit akhir. Gol tandang ini sangat
berharga. Menjelang akhir babak di menit 90, Hleb melambungkan bola ke Walcott
di sisi kanan. Kakha Kaladze berusaha menjegal, namun Walcott mampu lolos
berkat akselerasinya yang tinggi. Walcott masuk kotak penalti dan mengirim
umpan mendatar ke muka gawang AC Milan. Adebayor menjulurkan kaki untuk menuntaskan
bola kiriman Walcott dan bola kembali bersarang di sudut kiri bawah gawang AC
Milan. Skor 0-2 untuk Arsenal bertahan hingga peluit akhir. Arsenal lolos ke
perempat final mengalahkan juara bertahan Liga Champions. Arsenal menjadi tim Inggris
pertama yang mengalahkan AC Milan di San Siro. Menyenangkan sekali rasanya.
Sebenarnya masih banyak lagi kisah heroik
Arsenal dahulu, ketika Arsenal mampu menang 5-1 atas Inter Milan di Giuseppe
Meazza, ketika mengalahkan Liverpool 2-1 di Anfield walaupun hanya bermain
dengan 10 orang pada tahun 2002, dan sebagainya. Pembaca silakan mencari
videonya di kanal Youtube, ada hal yang lebih penting untuk dibahas dari nostalgia-nostalgia
ini.
Semenjak 2006 setelah mencapai babak
final Liga Champions, belum ada lagi yang bisa membuat suporter Arsenal puas
akan prestasi klubnya. Kejadian setiap musim selalu hampir sama: bagus di awal
musim, pertengahan Desember-Januari pemain andalan cedera, menjelang akhir
musim mulai mengendur. Cerita ini seperti satu kaset lagu yang selalu diputar
berulang-ulang dengan radio usang, membosankan sekali. Arsenal sempat mengalami
sembilan tahun tanpa gelar apapun, bahkan untuk Piala FA dan Piala Liga sangat
sulit digapai. Pemain-pemain yang kurang berkualitas menjadi penyebab utama trofi
belum menghampiri klub waktu itu.
Banyak pemain-pemain andalan The
Gunners dilego ke klub lain utuk melunasi hutang pembangunan Emirates
Stadium. Emanuel Adebayor, Samir Nasri, Gael Clichy (Manchester City), Cesc
Fabregas, Alex Song (Barcelona), Robin Van Persie (Manchester United), dan
masih banyak lagi. Sebagai gantinya Arsenal hanya merekrut pemain-pemain muda,
seperti Marouane Chamakh, Aaron Ramsey, Andrei Arshavin, dan Wojciech Szczęsny.
Biaya pembangunan Emirates Stadium mencapai 390 juta poundsterling. Arsenal
mendapatkan tambahan 100 juta pounds dari Emirates Airlines sebagai hak
penamaan stadion. Granada Media mengambil lima persen saham klub dengan
menginvestasikan sebesar 47 juta poundsterling. Lalu kerja sama dengan apparel
Nike yang dilaporkan mencapai 130 juta pounds. Sisanya berasal dari pinjaman bank.
Pinjaman inilah yang perlu dilunasi.
Awal
musim 2013-2014, Arsenal menyatakan sudah melunasi biaya pembangunan Stadion
Emirates, sehingga mulai berani mengejar pemain-pemain dengan banderol mahal. Pembelian
pemain bintang terwujud dengan kedatangan Mesut Ozil dari Real Madrid. Harapan
mulai muncul, seperti secercah cahaya di tengah kegelapan. Musim itu juga, The
Gunners berbuka puasa trofi dengan merengkuh trofi Piala FA. Cukup melegakan,
namun suporter tentunya berharap lebih dari itu. Suporter berharap Arsenal mengangkat
trofi Liga Inggris kembali, yang hanya menjadi angan-angan hingga kini. Seiring
berjalannya waktu, hanya 3 trofi Piala FA dan 3 trofi Community Shield yang
mampu direngkuh.
Lambat laun Wenger mulai kesulitan dalam
bersaing di Liga Primer. Tidak hanya bersaing memperebutkan gelar juara, 4
besar saja sudah ngos-ngosan. Taktik dan strategi Wenger mulai terbaca
lawan. Lawan tinggal bertahan, lalu melancarkan serangan balik dan mencetak gol.
Transisi menyerang ke bertahan menjadi masalah utama. Bermain dengan gaya yang
sama selama 22 tahun membuat lawan mulai mengenali pola permainan dan
rencana-rencana Wenger selama pertandingan, sehingga lawan semakin mudah untuk
mengantisipasinya. Saat Britania Raya kedatangan Juergen Klop lalu Pep Guardiola,
Wenger semakin kesulitan bersaing. Wenger tidak mampu beradaptasi dengan sepak
bola modern yang semakin dinamis. Setelah desakan fans dan manajemen, akhirnya Arsene
Wenger resmi mundur di akhir musim 2017-2018. Sebuah momen mengharukan yang harus
dilakukan, demi kebaikan klub yang sudah Wenger besarkan seperti anak sendiri.
Zaman semakin menantang dan dinamis,
menuntut Arsenal untuk berkembang lebih baik lagi. Mulai banyak rumor pelatih setelah
Wenger meninggalkan jabatannya, mulai dari Luis Enrique, Mikel Arteta, Julian
Nagelsmann, Domenico Tedesco, hingga Unai Emery. Unai Emery yang akhirnya
menggantikan Le Professeur di kursi kepelatihan. Musim pertama kepelatihan
Emery cukup menjanjikan dengan sempat mengukir 22 pertandingan tanpa kekalahan
di semua kompetisi, mengakhiri liga di posisi ke-5 satu strip lebih tinggi dari
musim sebelumnya, hingga mencapai final Liga Eropa. Emery juga sempat membawa
gairah bertanding Arsenal meningkat kembali. Sayangnya, karena kurang terampil
dalam komunikasi, pelatih yang sukses bersama Sevilla itu bermasalah dengan pemain-pemain
senior, seperti Granit Xhaka, Mesut Ozil, dan David Luiz. Performa Arsenal menukik
tajam dengan turun hingga peringkat 12 klasemen Liga Primer Inggris. Emery mulai
menatap pertandingan demi pertandingan dengan pandangan kosong, seakan sudah
pasrah dengan apa yang terjadi berikutnya. Setelah kalah 1-2 dari Eintracht Frankfurt
di Liga Europa, manajemen Arsenal memecat Unai Emery setelah 18 bulan mengabdi
di Emirates Stadium. Tonggak kepelatihan selanjutnya diserahkan kepada Mikel
Arteta, mantan pemain yang sempat menimba ilmu kepelatihan dengan menjadi
asisten Guardiola di Manchester City. Arteta pelan-pelan mulai meningkatkan performa
Arsenal. Sejauh ini sudah membukukan 8 kemenangan, 5 hasil imbang, dan 2 kekalahan
di semua kompetisi. Arsenal bertengger di peringkat 9 klasemen. Patut ditunggu
kelanjutan Arsenal di bawah Arteta.
Kini Arsenal sedang mengalami masa transisi.
Masa ketika sebuah tim sepak bola berusaha mengembangkan timnya menjadi lebih kuat
lagi. Di situ ada berbagai macam proses yang terasa pahit, namun banyak hikmah yang
terkandung di dalamnya. Tim yang sedang mengalami masa transisi perlu mempelajari
banyak hal untuk menjadi lebih kuat. Sebagai contoh ketika Arsenal takluk dari
Olympiakos Piraeus di 32 besar Liga Eropa. Arteta kebingungan menghadapi tim
yang bertahan ala parkir bis. Arteta yang masih ‘bau kencur’ alias minim pengalaman
perlu banyak belajar. Mungkin dari Pep Guardiola yang menjadi gurunya dahulu,
atau klub lain yang lebih sukses. Klub lain? Ya, tentu saja. Kita bisa
mengambil hal-hal baik dari klub lain, yang tidak berbenturan dengan nilai-nilai
yang ada di dalam Victoria Concordia Crescit. Hal-hal yang tidak sesuai tidak
usah diikuti, ambil baiknya dan buang buruknya.
Untuk belajar dari klub lain, penulis
merekomendasikan Arsenal perlu belajar dari Liverpool dan Lazio. Mengapa dua
klub ini yang dipilih? Karena kedua klub ini pernah mengalami nasib yang sama
dengan Arsenal. Kedua klub ini mempunyai sejarah yang cukup hebat, pernah mengalami
masa transisi, dan pernah mengalami masalah keuangan yang pelik. Ketiga hal
yang juga pernah dimiliki Arsenal. Liverpool dan Lazio berhasil belajar dari pengalaman-pengalaman
pahit yang sudah mereka lalui, lalu menghindari kesalahan-kesalahan yang sama.
Akhirnya mereka memetik buahnya saat ini berupa prestasi. Kedua klub ini
sama-sama melewati proses yang sangat panjang dan penuh kesabaran. Jika diperhatikan,
Arsenal masih belum seberapa merana dibandingkan kedua klub ini. Arsenal
terakhir juara Premier League pada tahun 2004, dengan status invincibles,
tak terkalahkan satu musim penuh, yang tidak mampu digapai tim lain di Era
Premier League. Sementara Liverpool
terakhir juara liga pada tahun 1990, 30 tahun yang lalu. Lalu Lazio terakhir
kali juara Serie A pada tahun 2000, 20 tahun yang lalu. Mari kita bahas perjalanan
kedua klub ini.
Liverpool sebenarnya sudah konsisten di
papan atas Premier League sejak lama, hanya saja keberuntungan belum memihak
pada mereka. Musim 2008/2009, 2013/2014. Dan 2018/2019 sudah juara paruh musim,
namun akhir musim mereka inkonsisten dan gagal juara. Kiprah The Reds di
kompetisi Eropa beda cerita. Mulai awal milenium ke-2 Liverpool sudah banyak menorehkan
trofi, antara lain 1 Piala UEFA (Liga Eropa) pada tahun 2001; 2 Piala Super
Eropa pada tahun 2000 dan 2005; serta 1 trofi Liga Champions pada tahun 2005. Setelah
kemenangan dramatis atas AC Milan di final Liga Champions tahun 2005, Liverpool
selalu konsisten di empat besar Liga Primer. Empat besar yang waktu itu sering disebut
Fantastic Four bersama Manchester United, Chelsea, dan Arsenal. Liverpool
mulai kolaps di akhir kepelatihan Rafael Benitez. Mulai musim 2009/2010, Liverpool
goyah dan keluar dari empat besar Liga Primer. Selain itu di Eropa juga tidak
lolos fase grup Liga Champions. Turun kasta di Piala UEFA, Liverpool hanya sampai
semifinal, kandas dari Atletico Madrid yang menjadi kampiun waktu itu.
Tidak kunjung membaik, Rafael Benitez
meninggalkan Anfield dan Roy Hodgson menggantikan posisi Benitez di musim
2010/2011. Roy Hodgson pun setali tiga uang, bahkan lebih parah, Liverpool
sempat terjerembab ke zona degradasi. Hodgson dipecat di paruh musim kemudian
digantikan “The King” Kenny Dalglish, yang sempat menggairahkan Liverpool
dan bercokol di peringkat 6 klasemen akhir. Musim berikutnya, King Kenny
berhasil meraih trofi Piala Liga Inggris, namun setelahnya performa tim kolaps
dan terjun payung ke posisi 8 klasemen akhir, peringkat terburuk dalam 16 tahun
terakhir sejarah klub. Musim 2012/2013, kemudi kapal Liverpool dialihkan ke
Brendan Rodgers. Musim kedua kepemimpinan, Rodgers hampir membawa Liverpool
meraih gelar juara Liga dan lolos ke Liga Champions setelah 5 tahun absen. Namun
kiprah Rodgers di Liga Champions hanya sampai fase grup, numpang lewat saja. finish
di peringkat ketiga fase grup membuat Liverpool terjunn ke Liga Eropa. Di Liga
Eropa pun tragis, tersingkir dari Besiktas di babak 32 besar. Rodgers hanya
mentok sampai ke situ, tidak mampu mengangkat lagi. Di awal musim 2015/2016,
Rodgers dipecat karena performa Liverpool menurun dan digantikan manajer kharismatik,
Juergen Klopp.
Di
bawah asuhan Klopp, jalan kesuksesan Liverpool dimulai. Akhir musim 2015/2016 Klopp
membawa Liverpool sebagai finalis Liga Eropa, kemudian musim berikutnya
berhasil mendongkrak posisi The Reds ke posisi 4 klasemen akhir Liga
Primer sehingga mendapatkan satu tiket ke Liga Champions. Musim 2017/2018 juga
mengakhiri musim di posisi 4 Liga Primer, namun berhasil mencapai final Liga
Champions walaupun ditekuk Real Madrid di final. Musim 2018/2019 meningkat ke
posisi 2 klasemen akhir Liga Primer dan berhasil menjuarai Liga Champions. Di awal
musim 2019/2020, Liverpool menjuarai Piala Super Eropa setelah mengalahkan
Chelsea lewat babak adu penalti. Di penghujung tahun 2019 Liverpool menahbiskan
diri sebagai klub terbaik di dunia setelah menjuarai Piala Dunia Antar Klub di
Qatar. Tahun 2020 ini tinggal mengemas 2 kemenangan lagi mereka menjuarai Liga
Primer Inggris kembali setelah 30 tahun menantikannya. Liverpool kini menjadi
inspirasi dunia, bahwa untuk sukses dibutuhkan proses yang panjang.
Selain masalah di dalam lapangan,
Liverpool juga sempat diterpa masalah keuangan. Masalah bermula dari David
Moores, pemilik saham terbesar Liverpool yang menyerahkan kepemilikan klub kepada
George Gillet dan Tom Hicks pada 6 Februari 2007. Hicks dan Gillet ternyata
meminjam uang kepada Royal Bank of Scotland (RBS) sebanyak 351 juta pounds dan
belum mampu melunasi, sehingga Liverpool terlilit hutang dan terancam bangkrut.
15 Oktober 2010, Gillet dan Hicks angkat koper dari Anfield setelah mendapat
kecaman dari berbagai elemen klub, baik suporter maupun internal klub. Rafael
Benitez dikabarkan hengkang dari Anfield karena dua pebisnis asal Amerika
Serikat ini tidak mau memenuhi permintaannya terkait transfer pemain.
Kepemilikan diserahkan kepada John W. Henry, pemilik perusahaaan Fenway Sports
Group (FSG). FSG melunasi hutang yang ditinggal Gillet dan Hicks, lalu sedikit
demi sedikit meraih keuntungan berkat rencana jangka panjang Juergen Klopp. Dilansir
dari Transfermarkt, saat ini Liverpool memiliki nilai pasar 1,19 miliar euro.
Lazio menjadi salah satu dari The
Magnificient Seven Serie A pada dekade 90-an bersama AC Milan, Inter
Milan, Juventus, AS Roma, Fiorentina, dan Parma. Saat itu Lazio rajin main di
kompetisi Eropa berkat pemain-pemain bintang yang dimilikinya, bahkan mencicipi
juara Serie A pada musim 1999/2000. Alessandro Nesta, Juan Sebastian Veron,
Pavel Nedved, Hernan Crespo, Roberto Mancini, Sinisa Mihajlovic, Dejan
Stankovic, dan Marcelo Salas adalah nama-nama tenar yang pernah menghiasi line-up
Lazio sebelum bertanding.
Namun semua itu berubah ketika Cirio, perusahaan
pangan yang menjadi sumber dana utama Lazio bangkrut. Awalnya Cirio mengalami masalah
finansial setelah Lazio membeli pemain-pemain bintang yakni Hernan Crespo,
Claudio Lopez, Angelo Peruzzi, Dino Baggio, Karel Poborsky, Francesco
Colonnese, dan Lucas Castroman yang hanya ditutup dengan melego Sergio Conceicao
pada musim 2000/2001. Musim berikutnya Lazio bisa beroperasi dengan baik di
bursa transfer. Mereka memang mendatangkan Gaizka Mendieta, Jaap Stam, Stefano
Fiore, dan Darko Kovacevic dengan harga mahal. Namun, itu mereka lakukan
setelah Juan Veron, Pavel Nedved, dan Marcelo Salas dijual dengan harga mahal
pula. Sayangnya, kebijakan itu tetap tidak mampu menyelamatkan Lazio dan Cirio.
Pada 2003, Cirio mengajukan kebangkrutan. Musim berikutnya, Sergio Cragnotti presiden
Lazio ditangkap atas kasus penggelapan uang. Kejayaan Lazio berakhir dan
kepergian pemain-pemain bintang pun tak terhindarkan. Selanjutnya, di pentas
Serie A Lazio lebih sering menghuni papan tengah pada klasemen akhir. Paling sesekali
mengangkat piala Coppa Italia (2004, 2009, dan 2013) dan Piala Super Italia
(2009).
Pada 2004 Claudio Lotito mengambil alih
kepemilikan klub. Lotito menghemat uang untuk membayar hutang yang ditinggalkan
Cragnotti sebesar 550 juta euro. Di bawah Lotito, Lazio hanya bisa membeli
pemain-pemain muda. Sebetulnya banyak pemain potensial yang muncul di era Lotito,
sayangnya memilih untuk meninggalkan Olimpico. Hernanes (Juventus), Felipe
Anderson (West Ham United), dan Keita Balde (AS Monaco) adalah contoh barisan
pemain berbakat yang pernah membela Elang Roma. Penjualan pemain-pemain berbakat
cukup menguntungkan Lotito karena bisa membantu mengurangi beban hutang. Berkat
kesabaran Lotito dalam mengelola keuangan klub, saat ini Lazio memiliki nilai
pasar sebesar 372,65 juta Euro.
Untuk urusan di dalam lapangan, Lazio sempat
berganti-ganti pelatih di era Lotito. Mulai dari Delio Rossi, Davide
Ballardini, Vladimir Petkovic, Stefano Pioli, hingga Simone Inzaghi yang sudah
menangani tim selama 4 musim terakhir. Nama terakhir sudah diamati Lotito sejak
masih bermain di klub. Lotito menganggap Inzaghi memiliki bakat kepelatihan
yang hebat. Sebelum melatih klub senior, Inzaghi memang melatih klub Primavera Lazio
dan meraih tiga trofi, namun belum pernah melatih klub senior. Inzaghi dianggap
suporter sebagai legenda Elang Roma, karena sudah bergabung sejak 1999 dan pensiun
di Lazio tahun 2010. Kesetiaannya di Lazio saat sebagai pemain meskipun sering
dipinjamkan membuat suporter mencintai adik dari Filippo Inzaghi ini. Mungkin karena
sudah cukup lama berkecimpung di klub membuat Inzaghi mengetahui seluk beluk dan
internal klub, dan tahu bagaimana mengatasi masalah yang ada. Dengan skema
dasar 3-5-2, Inzaghi membuat Lazio lebih seimbang dalam bertahan dan menyerang.
Inzaghi mampu menyulap Ciro Immobile dan Luis Alberto menjadi sangat berbahaya
setelah kedua pemain tersebut gagal bersinar di klub sebelumnya, yakni Borussia
Dortmund dan Liverpool. Kemampuan Inzaghi mempertahankan Sergej
Milinkovic-Savic dari godaan klub-klub elit Eropa juga patut diacungi jempol. Perpaduan
pemain senior dan pemain muda dalam permainan Lazio, ditambah tidak banyak
perubahan tim utama saat kepemimpinan Inzaghi membuat Lazio semakin solid. Sudah tiga trofi yang dipersembahkan Inzaghi
untuk Lazio, yakni Piala Super Italia (2017 dan 2019) dan Coppa Italia (2019).
Liverpool
dan Lazio sudah banyak menelan asam garam selama melewati masa transisi. Arsenal
tinggal mengikuti langkah-langkah kedua klub ini, tentunya sesuai dengan keadaan
yang ada di dalam tubuh Arsenal saat ini. Berikut tips yang bisa dilakukan
Arsenal:
1.
Motivasi untuk
Menang Setiap Pertandingan
Inilah yang mendasari
setiap tim sepak bola bertanding dan mau bertarung di lapangan hijau. Menang adalah
mind set utama yang harus ditanamkan sejak dini. Apapun kompetisi yang
digeluti, menang setiap pertandingan adalah tujuan utama semua tim. Untuk Arsenal,
semua kompetisi harus didasari prinsip ini, baik Liga Primer, Liga Eropa/Champions,
Piala FA, maupun Piala Liga. Semua pemain pasti mendapat kesempatan bermain,
berhubung padatnya jadwal kompetisi. Mikel Arteta pasti mau merotasi tim untuk
mengarungi kompetisi yang ada. Semua pemain harus totalitas mempersembahkan kemampuan
terbaiknya. Mental pemenang inilah yang akan menumbuhkan mental juara.
Prinsip inilah yang
mendasari Liverpool sehingga mereka mampu mengangkat trofi Liga Champions musim
lalu. Kemenangan heroik atas Bayern Muenchen yang didapat kala melawat ke
Allianz Arena dengan skor 3-1 serta kemenangan super fantastis atas Barcelona di
semifinal adalah contoh nyata. Liverpool seolah-olah mengajari Arsenal
bagaimana cara mengalahkan Bayern dan Barcelona, yang sering menjadi momok kala
bertemu di Liga Champions.
Ketika taktik dan
strategi dari pelatih sudah buntu, yang berperan adalah fighting spirit atau
semangat untuk bertarung sampai titik darah penghabisan. Arsenal masih kerap
kebingungan ketika taktik yang diterapkan pelatih mulai buntu dan belum
membuahkan hasil. Tim tidak boleh terlihat bingung ketika terjadi kebuntuan,
harus berusaha keras sampai menit akhir pertandingan. Yakinlah, ketika sudah
berusaha keras, dewi fortuna pasti memberikan jalan.
2.
Kontrak Pemain dengan
Durasi yang Lama dan Hampir Bersamaan
Ini dikhususkan untuk
pemain-pemain yang memiliki umur produktif masih cukup lama. Pemain yang
berusia 24-26 tahun dan pemain-pemain muda perlu perpanjangan kontrak, untuk beradaptasi
dengan sistem permainan Arteta. Nicholas Pepe, Gabriel Martinelli, Eddie
Nketiah, Joe Willock, Reiss Nelson, dan Bukayo Saka termasuk dalam daftar ini. Berikan
kontrak dengan waktu habis yang hampir sama, Misalnya Martinelli, Saka, dan
Nketiah sama-sama diberi kontrak hingga tahun 2025. Hal ini diperlukan supaya para
pemain bisa mendapatkan chemistry dan memahami taktik pelatih secara
menyeluruh. Butuh waktu untuk membentuk tim yang tangguh, tidak bisa dalam
waktu sekejap.
3.
Tidak banyak
mengubah Line-Up
Biasanya pelatih
membagi skuad utama dalam dua tim, yakni tim inti dan cadangan. Tim inti biasanya
bermain di liga domestik dan kompetisi Eropa. Tim cadangan biasanya bermain di piala
domestik. Pelatih perlu membentuk sebuah tim dengan memadukan pemain-pemain dengan
kualitas biasa maupun berbakat dengan dalam waktu yang cukup lama. Setidaknya setiap
lini ada satu pemain yang selalu mengisi line-up. Ketika pemain-pemain yang
sama selalu bermain bersama, setiap pemain akan memahami satu sama lain
kelebihan dan kekurangan kawannya. Di situ para pemain bisa saling menambal
kekurangan dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki setiap individu. Terbentuklah
skuad yang solid dengan chemistry yang sempurna. Pelatih juga butuh
waktu untuk mengamati potensi apa yang dimiliki setiap pemain sehingga
keberadaannya bisa dimaksimalkan dalam taktik dan strategi yang telah
ditentukan.
Untuk hal ini, kita bisa mencontoh Lazio. Ciro
Immobile, Luis Alberto, Sergej Milinkovic-Savic, Stefan Radu, Senad Lulic, dan
Thomas Strakosha selalu mengisi line-up Elang Roma hampir setiap laga di
Serie A sejak awal kepelatihan Inzaghi. Alberto sudah tahu Immobile dan
Milinkovic akan berlari ke mana, sehingga umpan yang diberikan Alberto bisa tepat
ke target. Ini karena mereka bermain bersama selama bertahun-tahun.
4.
Melindungi Pemain
Andalan dari Incaran Klub Lain
Pemain andalan yang memiliki
kemampuan lebih penting dalam sebuah tim sepak bola. Pemain seperti ini mampu
mengubah keadaan atau menentukan jalannya pertandingan. Di Arsenal ada Pierre-Emerick
Aubameyang yang selalu menjadi pembeda dalam tim. Dia selalu mencetak gol-gol
krusial. Aubameyang mulai diincar klub lain, seperti Manchester United dan
Barcelona. Arteta perlu memberi perlindungan dan jaminan kepada Aubameyang
untuk masa depannya di Arsenal. Aubameyang juga perlu memaklumi Arteta yang
baru beberapa bulan melatih Arsenal. Setidaknya Aubameyang diberi tambahan kontrak
dua sampai tiga tahun di Arsenal, sebagai role model bagi striker lain.
Kita bisa mencontoh Lazio
untuk perihal ini. Sergej Milinkovic-Savic masih bertahan di Lazio hingga saat
ini, padahal sudah kurang lebih tiga tahun namanya masuk dalam daftar incaran
klub-klub top Eropa seperti Manchester United, Chelsea, dan Paris Saint Germain.
Milinkovic memang elemen penting dalam strategi Inzaghi, dengan keahliannya coming
from behind mengelabuhi pertahanan lawan, saat yang lain sibuk menjaga
Immobile.
5.
Jangan
Terprovokasi Media
Menurut Yamadipati
Seno, industri media sering bekerja serampangan. Baik media cetak maupun
digital butuh bumbu demi “klik” untuk membaca. Banyak target yang harus
dipenuhi, seperti page views, users, bounce rate, dan sebagainya.
Bagaimana cara untuk mengejar target berikut? Jawabannya adalah konten. Wartawan
biasanya mempertimbangkan beberapa hal, seperti ketokohan, keunikan,
aktualitas, kedekatan, dan sebagainya. Semuanya dibuat agar konten terlihat semenarik
mungkin. Media berlomba-lomba membuat konten paling menggugah untuk diklik oleh
calon pembaca. Tak peduli apakah berita yang disajikan benar atau tidak, valid
atau tidak, datanya sesuai atau tidak, menyeluruh atau tidak, dan pertimbangan
lainnya. Penulis pernah melihat berita dengan judul ‘Liverpool kalah dari
Norwich City 0-1’ dari salah satu situs berita beberapa waktu lalu. “Perasaan
semalem menang deh”, begitu pikir penulis. Begitu dibuka, ternyata Liverpool
kalah dari Norwich City di musim 1993/1994. Ini adalah contoh dari clickbait
yang banyak berseliweran di gadget kita.
Juergen Klopp selalu
berusaha melindungi pemain-pemainnya ketika konferensi pers agar masalah di ruang
ganti tidak tersebar ke ranah publik. Klopp tahu, media pasti akan menggoreng
sedemikian rupa untuk menyajikan konten yang menarik. Tak jarang konten yang
dihasilkan kerap menyudutkan Liverpool. Arsenal pun kiranya juga sudah mengerti
akan masalah ini. Arteta selalu berusaha berbicara seperlunya di konferensi
pers. Singkat, padat, dan lugas, begitulah tipikal Arteta. Lazio mungkin agak
diuntungkan, karena tidak banyak media yang membahas Elang Roma. Untuk sepak
bola Italia, media cenderung menyorot kamera ke Juventus, Inter Milan, AC
Milan, dan AS Roma. Lazio cukup jarang diberitakan. Lazio mesti bersyukur
dengan keadaan ini. Mereka bisa bekerja maksimal tanpa tekanan tinggi dari media.
Untuk masalah ini, tidak
hanya klub saja yang perlu menyikapi. Kita sebagai warganet yang bijak juga
perlu menyikapi hal ini dengan penuh hati-hati. Kita mesti merespon setiap
informasi yang membanjiri gawai kita dengan pertimbangan yang dalam. Benarkah berita
ini? Apakah benar data ini? Sesuaikah opini ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah
yang wajib kita ajukan secara pribadi ketika mendapatkan informasi. Coba bandingkan
dengan media lain, beritanya sama atau tidak. Di sinilah nalar berpikir kritis
kita diasah. Kita perlu mencerna suatu masalah dari dua sisi dan tidak menyudutkan
salah satu pihak, sehingga dapat memunculkan win win solution, solusi
yang bisa diterima semua pihak.
Akhirnya, kita bisa belajar banyak dari
Liverpool dan Lazio. Dua klub yang sama-sama berproses di tengah kerasnya
persaingan kompetisi sepak bola modern. Mereka punya komitmen, kesabaran, tekad
yang kuat, dan keteguhan hati dalam menjalani proses. Mereka tidak jor-joran
membeli pemain bintang, namun pemain-pemain yang ada mampu menyesuaikan diri
dengan taktik dan strategi yang diterapkan pelatih. Justru klub-klub seperti
inilah yang lebih konsisten dalam waktu yang lama dibanding klub yang dimiliki
pengusaha kaya raya, karena mereka sudah terlatih dengan dana klub yang seadanya.
Ibarat mendaki gunung, Liverpool sudah
sampai puncak gunung, Lazio hampir sampai puncak, dan Arsenal masih di lereng
gunung. Zaman sekarang sudah tidak relevan lagi teori ‘semakin banyak uang semakin
banyak prestasi yang diraih’. Pernyataan lama Claudio Lotito ketika mengambil
alih Lazio belasan tahun lalu akhirnya terbukti, “Teori yang mengatakan siapa
yang paling banyak mengeluarkan uang akan menang sudah usang. Pemenang adalah
mereka yang punya tujuan jelas dan mempertimbangkan berbagai nilai yang ada”.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar