HEI ARSENAL, MARI BERGURU PADA LIVERPOOL DAN LAZIO


Hari Sabtu yang cerah tanggal 23 Oktober 1999 di Stadion Stamford Bridge London, Liga Primer Inggris menggelar pertandingan antara Chelsea menjamu Arsenal. Di babak pertama, pertandingan berjalan cukup sengit. Chelsea unggul dahulu melalui Tore Andre Flo yang berhasil menyundul umpan silang yang dikirim Dan Peterscu dari half-space kiri pertahanan Arsenal. Tiada gol yang tercipta lagi sampai jeda. Di awal babak kedua, Chelsea kembali menekan. Di menit ke-52 berawal dari free-kick dan sedikit kemelut, Graeme Le Saux mengirim umpan silang yang tidak terlalu tinggi, lalu Peterscu yang sebelumnya membuat assist langsung menanduk bola.  Bola menghujam gawang Seaman untuk kedua kali. Skor 2-0 untuk Chelsea.

Arsenal mampu menyikapi dengan baik. Meriam London langsung menyerang dengan umpan-umpan pendek. Menit ke-75, Marc Overmars memberi umpan bawah pada Kanu yang membelakangi gawang Chelsea. Kanu menghentikan bola, lalu berbalik di depan para bek Chelsea, dan menembak bola.  Bola menyusur tanah menuju kiri bawah gawang Chelsea yang dikawal Ed de Goey. Barisan bek Chelsea terlambat menutup ruang tembak Kanu. Goey tidak mampu menggapainya, terjadilah gol. Skor 2-1 masih untuk Chelsea.

Tidak lama kemudian, Arsenal kembali menyerang setelah Overmars menyergap bola dari jalur umpan para pemain Chelsea. Sedikit kerja sama dengan Lee Dixon, Overmars mengirim crossing mendatar ke Kanu yang sudah menunggu di kotak penalti Chelsea. Kanu yang membelakangi gawang menerima bola lalu mendorong bola sedikit ke depan gawang Chelsea agak ke kiri, kemudian langsung menembak ke tiang dekat gawang Chelsea. Goey terkejut dan refleknya terlambat. Gol kembali untuk Arsenal di menit ke-83. Skor kini imbang 2-2.


Chelsea terkejut bukan kepalang. Mereka sudah unggul terlebih dahulu tetapi keadaan kini seimbang, apalagi menjelang menit akhir. Pemain Chelsea panik dan terburu-buru dalam membangun serangan, akibatnya para pemain Chelsea melakukan blunder fatal. Albert Ferrer menyepak bola di depan Kanu yang sudah menghadangnya, maksudnya ingin menciptakan situasi throw-in, namun bola yang sudah menggebuk punggung Kanu masih belum keluar. Kanu langsung merebutnya di ujung kanan kotak penalti Chelsea. Tak ada angin, Goey yang mengawal gawang Chelsea malah maju menghadang Kanu. Entah apa yang ada di pikiran Goey. Kanu dengan tenang melewati Goey, lalu mendentum bola dengan sepakan terukur ke gawang Chelsea dari ruang tembak yang cukup sempit. Bek-bek Chelsea yang sudah menunggu tak ada yang mampu menghalau bola yang menerjang gawang mereka. Bola memutar indah melengkung ke tiang jauh menggetarkan jala gawang Chelsea. Skor berbalik 3-2 untuk keunggulan tim tamu di menit 90. Skor bertahan hingga peluit akhir. Sempat dikabarkan mengalami masalah jantung, Kanu mencetak hattrick dan menjadi pahlawan Arsenal di 15 menit terakhir. Sungguh momen yang sangat sulit terulang di masa kini. 

Kita maju ke tahun 2008. Arsenal lolos ke babak 16 Besar Liga Champions. Dari hasil undian, Arsenal bertemu AC Milan, juara bertahan Liga Champions. Leg pertama digelar di Stadion Emirates―markas Arsenal―terlebih dahulu. Diharapkan Arsenal mendapat kemenangan setidaknya selisih 1 gol, berhubung kiper andalan Rossoneri Nelson Dida tidak bisa bermain akibat cedera. Ternyata leg pertama yang dilaksanakan tanggal 20 Februari 2008 itu berakhir imbang 0-0. Jelas ada kekhawatiran, karena musim sebelumnya Manchester United dilipat 3-0 di Stadion San Siro―markas AC Milan―meskipun leg pertama The Red Devils sempat unggul 3-2. Skor agregat 5-3 untuk kemenangan AC Milan yang melaju ke final dan menggondol trofi Si Kuping Besar untuk ke-7 kalinya.

Kebetulan pada leg kedua di San Siro penulis menonton. Waktu itu masih kelas 1 SMP dan sedang sakit, sehingga tidak masuk sekolah besoknya. Pertandingan digelar tanggal 4 Maret 2008. Pertandingan berjalan cukup sengit. Kedua tim silih berganti membuat peluang, namun hingga babak pertama selesai, skor masih kacamata. Agregat pun masih kacamata. Di babak kedua, suasana pertandingan tidak banyak berubah. Menit ke-71, Arsene Wenger memasukkan Theo Walcott sang wonderkid menggantikan Emanuel Eboue.


Penulis sempat mengantuk dan tertidur. Ketika penulis membuka mata, terlihat bola bersarang di gawang AC Milan. Cesc Fabregas berselebrasi memeluk Wenger diikuti pemain-pemain lainnya. Ternyata terjadi gol. Penulis pun sangat senang. Lebih senang lagi ketika melihat tayangan ulang golnya, karena berasal dari tendangan jarak jauh menyusur tanah dari jarak kurang lebih 30 meter setelah Fabregas mengecoh Gennaro Gatusso. Bola bersarang di sudut kanan gawang Zlejko Kalac.”Keren banget!!!”, gumam penulis dalam hati. Gol Fabregas terjadi di menit 84, kurang dari 10 menit jelang peluit akhir. Gol tandang ini sangat berharga. Menjelang akhir babak di menit 90, Hleb melambungkan bola ke Walcott di sisi kanan. Kakha Kaladze berusaha menjegal, namun Walcott mampu lolos berkat akselerasinya yang tinggi. Walcott masuk kotak penalti dan mengirim umpan mendatar ke muka gawang AC Milan. Adebayor menjulurkan kaki untuk menuntaskan bola kiriman Walcott dan bola kembali bersarang di sudut kiri bawah gawang AC Milan. Skor 0-2 untuk Arsenal bertahan hingga peluit akhir. Arsenal lolos ke perempat final mengalahkan juara bertahan Liga Champions. Arsenal menjadi tim Inggris pertama yang mengalahkan AC Milan di San Siro. Menyenangkan sekali rasanya.

Sebenarnya masih banyak lagi kisah heroik Arsenal dahulu, ketika Arsenal mampu menang 5-1 atas Inter Milan di Giuseppe Meazza, ketika mengalahkan Liverpool 2-1 di Anfield walaupun hanya bermain dengan 10 orang pada tahun 2002, dan sebagainya. Pembaca silakan mencari videonya di kanal Youtube, ada hal yang lebih penting untuk dibahas dari nostalgia-nostalgia ini.



Semenjak 2006 setelah mencapai babak final Liga Champions, belum ada lagi yang bisa membuat suporter Arsenal puas akan prestasi klubnya. Kejadian setiap musim selalu hampir sama: bagus di awal musim, pertengahan Desember-Januari pemain andalan cedera, menjelang akhir musim mulai mengendur. Cerita ini seperti satu kaset lagu yang selalu diputar berulang-ulang dengan radio usang, membosankan sekali. Arsenal sempat mengalami sembilan tahun tanpa gelar apapun, bahkan untuk Piala FA dan Piala Liga sangat sulit digapai. Pemain-pemain yang kurang berkualitas menjadi penyebab utama trofi belum menghampiri klub waktu itu.

Banyak pemain-pemain andalan The Gunners dilego ke klub lain utuk melunasi hutang pembangunan Emirates Stadium. Emanuel Adebayor, Samir Nasri, Gael Clichy (Manchester City), Cesc Fabregas, Alex Song (Barcelona), Robin Van Persie (Manchester United), dan masih banyak lagi. Sebagai gantinya Arsenal hanya merekrut pemain-pemain muda, seperti Marouane Chamakh, Aaron Ramsey, Andrei Arshavin, dan Wojciech Szczęsny. Biaya pembangunan Emirates Stadium mencapai 390 juta poundsterling. Arsenal mendapatkan tambahan 100 juta pounds dari Emirates Airlines sebagai hak penamaan stadion. Granada Media mengambil lima persen saham klub dengan menginvestasikan sebesar 47 juta poundsterling. Lalu kerja sama dengan apparel Nike yang dilaporkan mencapai 130 juta pounds. Sisanya berasal dari pinjaman bank. Pinjaman inilah yang perlu dilunasi.

 Awal musim 2013-2014, Arsenal menyatakan sudah melunasi biaya pembangunan Stadion Emirates, sehingga mulai berani mengejar pemain-pemain dengan banderol mahal. Pembelian pemain bintang terwujud dengan kedatangan Mesut Ozil dari Real Madrid. Harapan mulai muncul, seperti secercah cahaya di tengah kegelapan. Musim itu juga, The Gunners berbuka puasa trofi dengan merengkuh trofi Piala FA. Cukup melegakan, namun suporter tentunya berharap lebih dari itu. Suporter berharap Arsenal mengangkat trofi Liga Inggris kembali, yang hanya menjadi angan-angan hingga kini. Seiring berjalannya waktu, hanya 3 trofi Piala FA dan 3 trofi Community Shield yang mampu direngkuh.

Lambat laun Wenger mulai kesulitan dalam bersaing di Liga Primer. Tidak hanya bersaing memperebutkan gelar juara, 4 besar saja sudah ngos-ngosan. Taktik dan strategi Wenger mulai terbaca lawan. Lawan tinggal bertahan, lalu melancarkan serangan balik dan mencetak gol. Transisi menyerang ke bertahan menjadi masalah utama. Bermain dengan gaya yang sama selama 22 tahun membuat lawan mulai mengenali pola permainan dan rencana-rencana Wenger selama pertandingan, sehingga lawan semakin mudah untuk mengantisipasinya. Saat Britania Raya kedatangan Juergen Klop lalu Pep Guardiola, Wenger semakin kesulitan bersaing. Wenger tidak mampu beradaptasi dengan sepak bola modern yang semakin dinamis. Setelah desakan fans dan manajemen, akhirnya Arsene Wenger resmi mundur di akhir musim 2017-2018. Sebuah momen mengharukan yang harus dilakukan, demi kebaikan klub yang sudah Wenger besarkan seperti anak sendiri.


Zaman semakin menantang dan dinamis, menuntut Arsenal untuk berkembang lebih baik lagi. Mulai banyak rumor pelatih setelah Wenger meninggalkan jabatannya, mulai dari Luis Enrique, Mikel Arteta, Julian Nagelsmann, Domenico Tedesco, hingga Unai Emery. Unai Emery yang akhirnya menggantikan Le Professeur di kursi kepelatihan. Musim pertama kepelatihan Emery cukup menjanjikan dengan sempat mengukir 22 pertandingan tanpa kekalahan di semua kompetisi, mengakhiri liga di posisi ke-5 satu strip lebih tinggi dari musim sebelumnya, hingga mencapai final Liga Eropa. Emery juga sempat membawa gairah bertanding Arsenal meningkat kembali. Sayangnya, karena kurang terampil dalam komunikasi, pelatih yang sukses bersama Sevilla itu bermasalah dengan pemain-pemain senior, seperti Granit Xhaka, Mesut Ozil, dan David Luiz. Performa Arsenal menukik tajam dengan turun hingga peringkat 12 klasemen Liga Primer Inggris. Emery mulai menatap pertandingan demi pertandingan dengan pandangan kosong, seakan sudah pasrah dengan apa yang terjadi berikutnya. Setelah kalah 1-2 dari Eintracht Frankfurt di Liga Europa, manajemen Arsenal memecat Unai Emery setelah 18 bulan mengabdi di Emirates Stadium. Tonggak kepelatihan selanjutnya diserahkan kepada Mikel Arteta, mantan pemain yang sempat menimba ilmu kepelatihan dengan menjadi asisten Guardiola di Manchester City. Arteta pelan-pelan mulai meningkatkan performa Arsenal. Sejauh ini sudah membukukan 8 kemenangan, 5 hasil imbang, dan 2 kekalahan di semua kompetisi. Arsenal bertengger di peringkat 9 klasemen. Patut ditunggu kelanjutan Arsenal di bawah Arteta.


Kini Arsenal sedang mengalami masa transisi. Masa ketika sebuah tim sepak bola berusaha mengembangkan timnya menjadi lebih kuat lagi. Di situ ada berbagai macam proses yang terasa pahit, namun banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Tim yang sedang mengalami masa transisi perlu mempelajari banyak hal untuk menjadi lebih kuat. Sebagai contoh ketika Arsenal takluk dari Olympiakos Piraeus di 32 besar Liga Eropa. Arteta kebingungan menghadapi tim yang bertahan ala parkir bis. Arteta yang masih ‘bau kencur’ alias minim pengalaman perlu banyak belajar. Mungkin dari Pep Guardiola yang menjadi gurunya dahulu, atau klub lain yang lebih sukses. Klub lain? Ya, tentu saja. Kita bisa mengambil hal-hal baik dari klub lain, yang tidak berbenturan dengan nilai-nilai yang ada di dalam Victoria Concordia Crescit. Hal-hal yang tidak sesuai tidak usah diikuti, ambil baiknya dan buang buruknya.

Untuk belajar dari klub lain, penulis merekomendasikan Arsenal perlu belajar dari Liverpool dan Lazio. Mengapa dua klub ini yang dipilih? Karena kedua klub ini pernah mengalami nasib yang sama dengan Arsenal. Kedua klub ini mempunyai sejarah yang cukup hebat, pernah mengalami masa transisi, dan pernah mengalami masalah keuangan yang pelik. Ketiga hal yang juga pernah dimiliki Arsenal. Liverpool dan Lazio berhasil belajar dari pengalaman-pengalaman pahit yang sudah mereka lalui, lalu menghindari kesalahan-kesalahan yang sama. Akhirnya mereka memetik buahnya saat ini berupa prestasi. Kedua klub ini sama-sama melewati proses yang sangat panjang dan penuh kesabaran. Jika diperhatikan, Arsenal masih belum seberapa merana dibandingkan kedua klub ini. Arsenal terakhir juara Premier League pada tahun 2004, dengan status invincibles, tak terkalahkan satu musim penuh, yang tidak mampu digapai tim lain di Era Premier League.  Sementara Liverpool terakhir juara liga pada tahun 1990, 30 tahun yang lalu. Lalu Lazio terakhir kali juara Serie A pada tahun 2000, 20 tahun yang lalu. Mari kita bahas perjalanan kedua klub ini.

Liverpool sebenarnya sudah konsisten di papan atas Premier League sejak lama, hanya saja keberuntungan belum memihak pada mereka. Musim 2008/2009, 2013/2014. Dan 2018/2019 sudah juara paruh musim, namun akhir musim mereka inkonsisten dan gagal juara. Kiprah The Reds di kompetisi Eropa beda cerita. Mulai awal milenium ke-2 Liverpool sudah banyak menorehkan trofi, antara lain 1 Piala UEFA (Liga Eropa) pada tahun 2001; 2 Piala Super Eropa pada tahun 2000 dan 2005; serta 1 trofi Liga Champions pada tahun 2005. Setelah kemenangan dramatis atas AC Milan di final Liga Champions tahun 2005, Liverpool selalu konsisten di empat besar Liga Primer. Empat besar yang waktu itu sering disebut Fantastic Four bersama Manchester United, Chelsea, dan Arsenal. Liverpool mulai kolaps di akhir kepelatihan Rafael Benitez. Mulai musim 2009/2010, Liverpool goyah dan keluar dari empat besar Liga Primer. Selain itu di Eropa juga tidak lolos fase grup Liga Champions. Turun kasta di Piala UEFA, Liverpool hanya sampai semifinal, kandas dari Atletico Madrid yang menjadi kampiun waktu itu.

Tidak kunjung membaik, Rafael Benitez meninggalkan Anfield dan Roy Hodgson menggantikan posisi Benitez di musim 2010/2011. Roy Hodgson pun setali tiga uang, bahkan lebih parah, Liverpool sempat terjerembab ke zona degradasi. Hodgson dipecat di paruh musim kemudian digantikan “The King” Kenny Dalglish, yang sempat menggairahkan Liverpool dan bercokol di peringkat 6 klasemen akhir. Musim berikutnya, King Kenny berhasil meraih trofi Piala Liga Inggris, namun setelahnya performa tim kolaps dan terjun payung ke posisi 8 klasemen akhir, peringkat terburuk dalam 16 tahun terakhir sejarah klub. Musim 2012/2013, kemudi kapal Liverpool dialihkan ke Brendan Rodgers. Musim kedua kepemimpinan, Rodgers hampir membawa Liverpool meraih gelar juara Liga dan lolos ke Liga Champions setelah 5 tahun absen. Namun kiprah Rodgers di Liga Champions hanya sampai fase grup, numpang lewat saja. finish di peringkat ketiga fase grup membuat Liverpool terjunn ke Liga Eropa. Di Liga Eropa pun tragis, tersingkir dari Besiktas di babak 32 besar. Rodgers hanya mentok sampai ke situ, tidak mampu mengangkat lagi. Di awal musim 2015/2016, Rodgers dipecat karena performa Liverpool menurun dan digantikan manajer kharismatik, Juergen Klopp.


 Di bawah asuhan Klopp, jalan kesuksesan Liverpool dimulai. Akhir musim 2015/2016 Klopp membawa Liverpool sebagai finalis Liga Eropa, kemudian musim berikutnya berhasil mendongkrak posisi The Reds ke posisi 4 klasemen akhir Liga Primer sehingga mendapatkan satu tiket ke Liga Champions. Musim 2017/2018 juga mengakhiri musim di posisi 4 Liga Primer, namun berhasil mencapai final Liga Champions walaupun ditekuk Real Madrid di final. Musim 2018/2019 meningkat ke posisi 2 klasemen akhir Liga Primer dan berhasil menjuarai Liga Champions. Di awal musim 2019/2020, Liverpool menjuarai Piala Super Eropa setelah mengalahkan Chelsea lewat babak adu penalti. Di penghujung tahun 2019 Liverpool menahbiskan diri sebagai klub terbaik di dunia setelah menjuarai Piala Dunia Antar Klub di Qatar. Tahun 2020 ini tinggal mengemas 2 kemenangan lagi mereka menjuarai Liga Primer Inggris kembali setelah 30 tahun menantikannya. Liverpool kini menjadi inspirasi dunia, bahwa untuk sukses dibutuhkan proses yang panjang.

Selain masalah di dalam lapangan, Liverpool juga sempat diterpa masalah keuangan. Masalah bermula dari David Moores, pemilik saham terbesar Liverpool yang menyerahkan kepemilikan klub kepada George Gillet dan Tom Hicks pada 6 Februari 2007. Hicks dan Gillet ternyata meminjam uang kepada Royal Bank of Scotland (RBS) sebanyak 351 juta pounds dan belum mampu melunasi, sehingga Liverpool terlilit hutang dan terancam bangkrut. 15 Oktober 2010, Gillet dan Hicks angkat koper dari Anfield setelah mendapat kecaman dari berbagai elemen klub, baik suporter maupun internal klub. Rafael Benitez dikabarkan hengkang dari Anfield karena dua pebisnis asal Amerika Serikat ini tidak mau memenuhi permintaannya terkait transfer pemain. Kepemilikan diserahkan kepada John W. Henry, pemilik perusahaaan Fenway Sports Group (FSG). FSG melunasi hutang yang ditinggal Gillet dan Hicks, lalu sedikit demi sedikit meraih keuntungan berkat rencana jangka panjang Juergen Klopp. Dilansir dari Transfermarkt, saat ini Liverpool memiliki nilai pasar 1,19 miliar euro.

Lazio menjadi salah satu dari The Magnificient Seven Serie A pada dekade 90-an bersama AC Milan, Inter Milan, Juventus, AS Roma, Fiorentina, dan Parma. Saat itu Lazio rajin main di kompetisi Eropa berkat pemain-pemain bintang yang dimilikinya, bahkan mencicipi juara Serie A pada musim 1999/2000. Alessandro Nesta, Juan Sebastian Veron, Pavel Nedved, Hernan Crespo, Roberto Mancini, Sinisa Mihajlovic, Dejan Stankovic, dan Marcelo Salas adalah nama-nama tenar yang pernah menghiasi line-up Lazio sebelum bertanding.



Namun semua itu berubah ketika Cirio, perusahaan pangan yang menjadi sumber dana utama Lazio bangkrut. Awalnya Cirio mengalami masalah finansial setelah Lazio membeli pemain-pemain bintang yakni Hernan Crespo, Claudio Lopez, Angelo Peruzzi, Dino Baggio, Karel Poborsky, Francesco Colonnese, dan Lucas Castroman yang hanya ditutup dengan melego Sergio Conceicao pada musim 2000/2001. Musim berikutnya Lazio bisa beroperasi dengan baik di bursa transfer. Mereka memang mendatangkan Gaizka Mendieta, Jaap Stam, Stefano Fiore, dan Darko Kovacevic dengan harga mahal. Namun, itu mereka lakukan setelah Juan Veron, Pavel Nedved, dan Marcelo Salas dijual dengan harga mahal pula. Sayangnya, kebijakan itu tetap tidak mampu menyelamatkan Lazio dan Cirio. Pada 2003, Cirio mengajukan kebangkrutan. Musim berikutnya, Sergio Cragnotti presiden Lazio ditangkap atas kasus penggelapan uang. Kejayaan Lazio berakhir dan kepergian pemain-pemain bintang pun tak terhindarkan. Selanjutnya, di pentas Serie A Lazio lebih sering menghuni papan tengah pada klasemen akhir. Paling sesekali mengangkat piala Coppa Italia (2004, 2009, dan 2013) dan Piala Super Italia (2009).

Pada 2004 Claudio Lotito mengambil alih kepemilikan klub. Lotito menghemat uang untuk membayar hutang yang ditinggalkan Cragnotti sebesar 550 juta euro. Di bawah Lotito, Lazio hanya bisa membeli pemain-pemain muda. Sebetulnya banyak pemain potensial yang muncul di era Lotito, sayangnya memilih untuk meninggalkan Olimpico. Hernanes (Juventus), Felipe Anderson (West Ham United), dan Keita Balde (AS Monaco) adalah contoh barisan pemain berbakat yang pernah membela Elang Roma. Penjualan pemain-pemain berbakat cukup menguntungkan Lotito karena bisa membantu mengurangi beban hutang. Berkat kesabaran Lotito dalam mengelola keuangan klub, saat ini Lazio memiliki nilai pasar sebesar 372,65 juta Euro.



Untuk urusan di dalam lapangan, Lazio sempat berganti-ganti pelatih di era Lotito. Mulai dari Delio Rossi, Davide Ballardini, Vladimir Petkovic, Stefano Pioli, hingga Simone Inzaghi yang sudah menangani tim selama 4 musim terakhir. Nama terakhir sudah diamati Lotito sejak masih bermain di klub. Lotito menganggap Inzaghi memiliki bakat kepelatihan yang hebat. Sebelum melatih klub senior, Inzaghi memang melatih klub Primavera Lazio dan meraih tiga trofi, namun belum pernah melatih klub senior. Inzaghi dianggap suporter sebagai legenda Elang Roma, karena sudah bergabung sejak 1999 dan pensiun di Lazio tahun 2010. Kesetiaannya di Lazio saat sebagai pemain meskipun sering dipinjamkan membuat suporter mencintai adik dari Filippo Inzaghi ini. Mungkin karena sudah cukup lama berkecimpung di klub membuat Inzaghi mengetahui seluk beluk dan internal klub, dan tahu bagaimana mengatasi masalah yang ada. Dengan skema dasar 3-5-2, Inzaghi membuat Lazio lebih seimbang dalam bertahan dan menyerang. Inzaghi mampu menyulap Ciro Immobile dan Luis Alberto menjadi sangat berbahaya setelah kedua pemain tersebut gagal bersinar di klub sebelumnya, yakni Borussia Dortmund dan Liverpool. Kemampuan Inzaghi mempertahankan Sergej Milinkovic-Savic dari godaan klub-klub elit Eropa juga patut diacungi jempol. Perpaduan pemain senior dan pemain muda dalam permainan Lazio, ditambah tidak banyak perubahan tim utama saat kepemimpinan Inzaghi membuat Lazio semakin solid.  Sudah tiga trofi yang dipersembahkan Inzaghi untuk Lazio, yakni Piala Super Italia (2017 dan 2019) dan Coppa Italia (2019).

            Liverpool dan Lazio sudah banyak menelan asam garam selama melewati masa transisi. Arsenal tinggal mengikuti langkah-langkah kedua klub ini, tentunya sesuai dengan keadaan yang ada di dalam tubuh Arsenal saat ini. Berikut tips yang bisa dilakukan Arsenal:

1.        Motivasi untuk Menang Setiap Pertandingan

Inilah yang mendasari setiap tim sepak bola bertanding dan mau bertarung di lapangan hijau. Menang adalah mind set utama yang harus ditanamkan sejak dini. Apapun kompetisi yang digeluti, menang setiap pertandingan adalah tujuan utama semua tim. Untuk Arsenal, semua kompetisi harus didasari prinsip ini, baik Liga Primer, Liga Eropa/Champions, Piala FA, maupun Piala Liga. Semua pemain pasti mendapat kesempatan bermain, berhubung padatnya jadwal kompetisi. Mikel Arteta pasti mau merotasi tim untuk mengarungi kompetisi yang ada. Semua pemain harus totalitas mempersembahkan kemampuan terbaiknya. Mental pemenang inilah yang akan menumbuhkan mental juara.

Prinsip inilah yang mendasari Liverpool sehingga mereka mampu mengangkat trofi Liga Champions musim lalu. Kemenangan heroik atas Bayern Muenchen yang didapat kala melawat ke Allianz Arena dengan skor 3-1 serta kemenangan super fantastis atas Barcelona di semifinal adalah contoh nyata. Liverpool seolah-olah mengajari Arsenal bagaimana cara mengalahkan Bayern dan Barcelona, yang sering menjadi momok kala bertemu di Liga Champions.

Ketika taktik dan strategi dari pelatih sudah buntu, yang berperan adalah fighting spirit atau semangat untuk bertarung sampai titik darah penghabisan. Arsenal masih kerap kebingungan ketika taktik yang diterapkan pelatih mulai buntu dan belum membuahkan hasil. Tim tidak boleh terlihat bingung ketika terjadi kebuntuan, harus berusaha keras sampai menit akhir pertandingan. Yakinlah, ketika sudah berusaha keras, dewi fortuna pasti memberikan jalan.

2.        Kontrak Pemain dengan Durasi yang Lama dan Hampir Bersamaan
Ini dikhususkan untuk pemain-pemain yang memiliki umur produktif masih cukup lama. Pemain yang berusia 24-26 tahun dan pemain-pemain muda perlu perpanjangan kontrak, untuk beradaptasi dengan sistem permainan Arteta. Nicholas Pepe, Gabriel Martinelli, Eddie Nketiah, Joe Willock, Reiss Nelson, dan Bukayo Saka termasuk dalam daftar ini. Berikan kontrak dengan waktu habis yang hampir sama, Misalnya Martinelli, Saka, dan Nketiah sama-sama diberi kontrak hingga tahun 2025. Hal ini diperlukan supaya para pemain bisa mendapatkan chemistry dan memahami taktik pelatih secara menyeluruh. Butuh waktu untuk membentuk tim yang tangguh, tidak bisa dalam waktu sekejap.

3.        Tidak banyak mengubah Line-Up

Biasanya pelatih membagi skuad utama dalam dua tim, yakni tim inti dan cadangan. Tim inti biasanya bermain di liga domestik dan kompetisi Eropa. Tim cadangan biasanya bermain di piala domestik. Pelatih perlu membentuk sebuah tim dengan memadukan pemain-pemain dengan kualitas biasa maupun berbakat dengan dalam waktu yang cukup lama. Setidaknya setiap lini ada satu pemain yang selalu mengisi line-up. Ketika pemain-pemain yang sama selalu bermain bersama, setiap pemain akan memahami satu sama lain kelebihan dan kekurangan kawannya. Di situ para pemain bisa saling menambal kekurangan dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki setiap individu. Terbentuklah skuad yang solid dengan chemistry yang sempurna. Pelatih juga butuh waktu untuk mengamati potensi apa yang dimiliki setiap pemain sehingga keberadaannya bisa dimaksimalkan dalam taktik dan strategi yang telah ditentukan.

 Untuk hal ini, kita bisa mencontoh Lazio. Ciro Immobile, Luis Alberto, Sergej Milinkovic-Savic, Stefan Radu, Senad Lulic, dan Thomas Strakosha selalu mengisi line-up Elang Roma hampir setiap laga di Serie A sejak awal kepelatihan Inzaghi. Alberto sudah tahu Immobile dan Milinkovic akan berlari ke mana, sehingga umpan yang diberikan Alberto bisa tepat ke target. Ini karena mereka bermain bersama selama bertahun-tahun.

4.        Melindungi Pemain Andalan dari Incaran Klub Lain

Pemain andalan yang memiliki kemampuan lebih penting dalam sebuah tim sepak bola. Pemain seperti ini mampu mengubah keadaan atau menentukan jalannya pertandingan. Di Arsenal ada Pierre-Emerick Aubameyang yang selalu menjadi pembeda dalam tim. Dia selalu mencetak gol-gol krusial. Aubameyang mulai diincar klub lain, seperti Manchester United dan Barcelona. Arteta perlu memberi perlindungan dan jaminan kepada Aubameyang untuk masa depannya di Arsenal. Aubameyang juga perlu memaklumi Arteta yang baru beberapa bulan melatih Arsenal. Setidaknya Aubameyang diberi tambahan kontrak dua sampai tiga tahun di Arsenal, sebagai role model bagi striker lain.

Kita bisa mencontoh Lazio untuk perihal ini. Sergej Milinkovic-Savic masih bertahan di Lazio hingga saat ini, padahal sudah kurang lebih tiga tahun namanya masuk dalam daftar incaran klub-klub top Eropa seperti Manchester United, Chelsea, dan Paris Saint Germain. Milinkovic memang elemen penting dalam strategi Inzaghi, dengan keahliannya coming from behind mengelabuhi pertahanan lawan, saat yang lain sibuk menjaga Immobile.

5.        Jangan Terprovokasi Media

Menurut Yamadipati Seno, industri media sering bekerja serampangan. Baik media cetak maupun digital butuh bumbu demi “klik” untuk membaca. Banyak target yang harus dipenuhi, seperti page views, users, bounce rate, dan sebagainya. Bagaimana cara untuk mengejar target berikut? Jawabannya adalah konten. Wartawan biasanya mempertimbangkan beberapa hal, seperti ketokohan, keunikan, aktualitas, kedekatan, dan sebagainya. Semuanya dibuat agar konten terlihat semenarik mungkin. Media berlomba-lomba membuat konten paling menggugah untuk diklik oleh calon pembaca. Tak peduli apakah berita yang disajikan benar atau tidak, valid atau tidak, datanya sesuai atau tidak, menyeluruh atau tidak, dan pertimbangan lainnya. Penulis pernah melihat berita dengan judul ‘Liverpool kalah dari Norwich City 0-1’ dari salah satu situs berita beberapa waktu lalu. “Perasaan semalem menang deh”, begitu pikir penulis. Begitu dibuka, ternyata Liverpool kalah dari Norwich City di musim 1993/1994. Ini adalah contoh dari clickbait yang banyak berseliweran di gadget kita.

Juergen Klopp selalu berusaha melindungi pemain-pemainnya ketika konferensi pers agar masalah di ruang ganti tidak tersebar ke ranah publik. Klopp tahu, media pasti akan menggoreng sedemikian rupa untuk menyajikan konten yang menarik. Tak jarang konten yang dihasilkan kerap menyudutkan Liverpool. Arsenal pun kiranya juga sudah mengerti akan masalah ini. Arteta selalu berusaha berbicara seperlunya di konferensi pers. Singkat, padat, dan lugas, begitulah tipikal Arteta. Lazio mungkin agak diuntungkan, karena tidak banyak media yang membahas Elang Roma. Untuk sepak bola Italia, media cenderung menyorot kamera ke Juventus, Inter Milan, AC Milan, dan AS Roma. Lazio cukup jarang diberitakan. Lazio mesti bersyukur dengan keadaan ini. Mereka bisa bekerja maksimal tanpa tekanan tinggi dari media.

Untuk masalah ini, tidak hanya klub saja yang perlu menyikapi. Kita sebagai warganet yang bijak juga perlu menyikapi hal ini dengan penuh hati-hati. Kita mesti merespon setiap informasi yang membanjiri gawai kita dengan pertimbangan yang dalam. Benarkah berita ini? Apakah benar data ini? Sesuaikah opini ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang wajib kita ajukan secara pribadi ketika mendapatkan informasi. Coba bandingkan dengan media lain, beritanya sama atau tidak. Di sinilah nalar berpikir kritis kita diasah. Kita perlu mencerna suatu masalah dari dua sisi dan tidak menyudutkan salah satu pihak, sehingga dapat memunculkan win win solution, solusi yang bisa diterima semua pihak.

Akhirnya, kita bisa belajar banyak dari Liverpool dan Lazio. Dua klub yang sama-sama berproses di tengah kerasnya persaingan kompetisi sepak bola modern. Mereka punya komitmen, kesabaran, tekad yang kuat, dan keteguhan hati dalam menjalani proses. Mereka tidak jor-joran membeli pemain bintang, namun pemain-pemain yang ada mampu menyesuaikan diri dengan taktik dan strategi yang diterapkan pelatih. Justru klub-klub seperti inilah yang lebih konsisten dalam waktu yang lama dibanding klub yang dimiliki pengusaha kaya raya, karena mereka sudah terlatih dengan dana klub yang seadanya.

Ibarat mendaki gunung, Liverpool sudah sampai puncak gunung, Lazio hampir sampai puncak, dan Arsenal masih di lereng gunung. Zaman sekarang sudah tidak relevan lagi teori ‘semakin banyak uang semakin banyak prestasi yang diraih’. Pernyataan lama Claudio Lotito ketika mengambil alih Lazio belasan tahun lalu akhirnya terbukti, “Teori yang mengatakan siapa yang paling banyak mengeluarkan uang akan menang sudah usang. Pemenang adalah mereka yang punya tujuan jelas dan mempertimbangkan berbagai nilai yang ada”.

Referensi:

Komentar

Postingan populer dari blog ini