AYO
BANGKIT, ARSENAL!
Pasukan
Meriam London sedang merana. Mereka kini terjerembab ke peringkat 15 dengan
hanya mengumpulkan 14 poin dari 14 pertandingan awal Liga Primer Inggris. Tentu
hasil yang sangat mengecewakan. Bapak saya bahkan sampai geleng-geleng kepala
ketika mengetahui Arsenal kalah dari Burnley di kandang sendiri. “Parah Nang
Arsenal”, begitu gumamnya.
Bapak saja
bergumam seperti itu, apalagi saya. Ketika laga melawan Burnley, saya hanya
menonton saat lima menit injury time babak kedua. Namun tampaknya lima
menit itu cukup menggambarkan keseluruhan pertandingan: hanya umpan ke samping
kanan dan kiri, berputar-putar tanpa ada progresi dari lini tengah ke depan.
Lini tengah tampak sangat bingung untuk membangun kreasi serangan. Pierre Emerick
Aubameyang, striker utama tampak tak tahu apa yang harus dilakukan ketika tidak
mendapatkan bola. Ujung-ujungnya hanya umpan crossing yang tidak
menghasilkan peluang berbahaya.
Jelas ini
adalah sebuah masalah dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Masalah ini harus
segera diselesaikan. Mari kita kupas masalah ini yang menyebabkan Arsenal kalah
dalam empat laga kandang berturut-turut, setidaknya menurut hemat saya sebagai
penggemar.
Mikel
Arteta datang ke Arsenal dengan ide-ide brilian sepulang dari Manchester City
arahan Pep Guardiola. Usut punya usut, sebelum menjadi asisten Pep, Arteta
sudah belajar ilmu kepelatihan menjelang pensiun. Kabarnya juga Arteta
mengidolakan sistem permainan Juego de Posicion atau Positional Play
ala Marcelo Bielsa yang juga menjadi pedoman kepelatihan Pep Guardiola dan
Mauricio Pochetino.
Di musim
kedua era Unai Emery, Arsenal kerap kesulitan ketika menghadapi pressing
tinggi dari lawan. Nah, sistem permainan Arteta berhasil mengeliminasi pressing
tersebut. Sebenarnya yang diterapkan Arteta merupakan prinsip dasar dari Juego
de Posicion, yaitu pemain yang memegang bola maupun tidak memegang bola bergerak
mencari ruang kosong di antara pemain-pemain lawan dalam waktu yang bersamaan.
Namun para pemain mampu mengimplementasikan ide dasar ini dengan baik. Pelan
tapi pasti, eliminasi pressing ini kemudian diubah menjadi peluang
berbahaya dalam sekejap karena ruang-ruang yang ditinggalkan saat melakukan pressing
tinggi sangat lebar di belakang pertahanan lawan sehingga eksploitasi celah menjadi
lebih mudah. Trio Aubameyang-Lacazette-Pepe sangat ahli mengeksploitasi
celah-celah lebar tersebut dengan efektif. Eliminasi pressing dan produksi
peluang berbahaya dikemas dalam satu paket sistem permainan Mikel Arteta. Inilah
yang membuat sistem permainan Arteta istimewa. Trofi Piala FA dan Community
Shield adalah bukti nyata kecanggihan sistem permainan Arteta.
Masalah
mulai muncul di menjelang akhir musim 2019-2020 lalu. Terdapat satu
pertandingan yang luput dari perhatian banyak orang, namun menjadi pangkal
masalah musim ini, yaitu saat Arsenal melawat ke Villa Park Stadium bersua
Aston Villa. Setelah Aston Villa mencetak gol melalui sepakan Trezeguet
memanfaatkan kemelut sepak pojok, The Villains bertahan total. The
Gunners kesulitan membongkar pertahanan rapat Aston Villa yang terlihat
seperti dua benteng berlapis. Hanya satu peluang yang diproduksi Arsenal
melalui sundulan Eddie Nketiah yang membentur mistar gawang. Skor 1-0 untuk
Aston Villa bertahan hingga usai.
Lawan-lawan
mulai jeli dan memanfaatkan kelengahan Arsenal ini. Masalah tersebut berlanjut
ke musim ini. Dari 7 kekalahan pertama, 4 kekalahan terakhir disebabkan oleh
kesulitan melawan tim-tim yang bertahan dengan sistem blok rendah atau dua
benteng berlapis tadi. Leicester City, Aston Villa (lagi), Wolverhampton
Wanderers, dan Burnley adalah tim-tim yang dimaksud. Situasi pertandingan
selalu sama, layaknya deskripsi pertandingan melawan Burnley. Bahkan Leicester
dan Wolverhampton berani sesekali melakukan pressing ketika lini tengah
Arsenal kebingungan mencari opsi umpan untuk progresi. Jarak antar pemain cukup
jauh dan pergerakan pemain sangat kaku sehingga sulit mencari opsi umpan. Seharusnya
poin maksimal bisa diraih melawan tim-tim seperti ini. Sisanya melawan
Liverpool, Manchester City, dan Tottenham Hotspur yang masih bisa dimaklumi
suporter karena kualitas lawan memang lebih unggul.
Menurut Justinus
Lhaksana, ada tiga cara membongkar pertahanan rapat seperti ini, yaitu:
1. Wall pass dari
sisi sayap. Yang dimaksud di sini adalah melakukan umpan satu-dua di
sisi sayap. Ini terjadi jika bola dipegang oleh fullback/wingback.
Salah satu penyerang turun mendekati pemegang bola tersebut, kemudian melakukan
umpan satu-dua untuk membuka celah di belakang pertahanan lawan supaya fullback/wingback
yang awalnya memegang bola bisa melakukan penetrasi lalu melepaskan umpan tarik
atau umpan silang langsung dari sisi lapangan.
2. Umpan silang
dari tengah. Maksudnya adalah umpan silang dari area center,
paling pinggir dari area halfspace. Umpan silang atau crossing dari
tengah dilakukan karena umpan dari tengah membuat ruang antar lini lebih mudah
diakses dibandingkan dari flank (sayap). Kelebihan opsi ini adalah ruang
antar lini yang rapat lebih mudah untuk dibuka atau diperlebar dan dapat lebih bebas
menentukan arah serangan, bisa ke kanan, kiri, atau tengah langsung. Di kotak penalti
harus tersedia lebih dari satu orang kawan untuk membingungkan bek lawan yang
ingin mengkawal penyerang. Bisa menambahkan satu penyerang lagi atau bek tengah.
Tentu saja opsi ini memerlukan gelandang dengan akurasi umpan yang tinggi.
5 ruang horizontal area lapangan (sumber: fandom.id)
3. Kombinasi
antar pemain. Kombinasi adalah umpan pendek dan cepat antar
pemain untuk merusak kompaksi pertahanan lawan. Umpan satu-dua adalah contoh
paling sederhana dari kombinasi. Namun jika chemistry antar pemain sudah
terkoneksi dengan baik, kombinasi bisa dilakukan oleh empat hingga lima pemain.
Lawan akan bingung dalam bertahan karena bola bergulir sangat cepat.
Opsi pertama
biasanya dilakukan oleh Liverpool. The Reds mempunyai beberapa skema
serangan dari umpan silang, misalnya Andrew Robertson menerima umpan lambung
dari Trent Alexander-Arnold di tiang jauh lalu mengirim bola ke muka gawang
yang sudah siap disambar Sadio Mane, Roberto Firminho, atau Mohammed Salah. Permainan
umpan panjang secara diagonal, horizontal, maupun vertikal memang menjadi ciri
khas permainan Liverpool di bawah Juergen Klopp, sehingga mereka tidak kesulitan
melakukan berbagai variasi serangan melalui umpan silang.
Opsi
kedua biasa digunakan oleh Bayern Munich. Aktor penting Die Rotten dalam
menjalankan opsi ini adalah Joshua Kimmich yang mempunyai keahlian mengirim
umpan lambung akurat dari tengah lapangan. Contoh terbaru adalah gol semata
wayang Bayern ke gawang Paris Saint Germain di final Liga Champions musim lalu.
ketika Kimmich mengirim umpan lambung ke kotak penalti, bek-bek Le Parisiens
mengira bola akan dikirim ke Lewandowski. Tiba-tiba Kingsley Coman menyelinap
di antara kerumunan untuk menyambut umpan Kimmich. Sundulan Coman mampu
mengecoh Keylor Navas dan bola bersarang di sudut kiri gawang Paris.
Lalu
bagaimana dengan Arsenal? Arsenal bisa menggunakan opsi ketiga. Arsenal di era
Arsene Wenger terkenal dengan kombinasi antar banyak pemain yang sering disebut
Wengerball. Wengerball kerap melibatkan lima bahkan enam pemain di
final third pertahanan lawan. Andai Aubameyang atau Lacazette sudah
datang, mungkin Arsenal sudah berbuka puasa gelar Liga Primer Inggris saat itu,
karena kombinasi ini mampu membongkar pertahanan lawan berkali-kali. Masalah
saat itu tinggal penyelesaian akhir yang kurang efektif. Arteta yang semasa aktif
bermain pernah diasuh The Professor tentu paham kombinasi ini. Arteta
sering menjadi bagian kombinasi Wengerball saat itu, setidaknya hingga
musim 2013/2014. Wengerball atau setidaknya kombinasi umpan antar pemain
adalah jawaban dari masalah Arsenal saat ini: kesulitan mencetak gol bahkan
memproduksi peluang.
Siapa
yang bisa mengeksekusi kombinasi tersebut musim ini? Jawabannya ada di pemain
pelapis yang bermain di fase grup Liga Eropa. Para pemain pelapis bermain dengan
kombinasi umpan cepat di sepertiga akhir wilayah lawan, sesuai dengan kapasitas
yang dimiliki Arsenal selama ini. Tampak chemistry antar pemain cukup
terkoneksi dengan baik. Catatan mereka di fase grup pun tidak main-main: berhasil
memenangi seluruh pertandingan, tanpa seri dan kalah sekalipun alias meraup 18
poin. Banyak yang menganggap mereka menang karena lawan-lawan di fase grup
tidak sepadan. Namun wakil Inggris lainnya di Liga Eropa sempat mengalami kekalahan.
Leicester kalah dari Zorya, Tottenham ditumbangkan Antwerp. Bukankah Zorya dan Antwerp
juga lawan “antah berantah”? Itu berarti Arsenal memiliki catatan istimewa dan
lawan-lawan di Liga Eropa tidak bisa dianggap remeh. Selama penulis mengikuti
Arsenal, ini adalah poin tertinggi yang dicapai The Gunners di fase grup
kompetisi Eropa. Jika Arsenal hanya menargetkan lolos dari fase grup, para
pemain mungkin menyisakan satu laga imbang atau kalah. Ini adalah kode keras yang
dikirimkan para pemain pelapis ke Arteta: mereka minta dimainkan lebih sering
di Liga Primer.
Seperti yang
kita tahu, pemain-pemain di tim utama banyak yang mengalami penurunan performa.
Willian, Pierre Emerick Aubameyang, Hector Bellerin, Eddie Nketiah, Dani
Ceballos, Kieran Tierney, dan Granit Xhaka adalah yang dimaksud. Mereka sebaiknya
ditepikan sementara, untuk mendinginkan otot dan menjernihkan pikiran. Theo Walcott,
mantan pemain The Gunners merasa ada banyak ketakutan di kubu Meriam London. Ketakutan
yang dimaksud adalah ketakutan akan kekalahan sehingga muncul beban yang berat
karena tuntutan untuk menang di setiap pertandingan. Terlihat sekali beban itu
lewat kaki-kaki mereka yang berat berlari, akibat pundak bagaikan memikul seisi
dunia.
Aisley Maitland Niles, Nicholas Pepe, Mohammed
Elneny, Reiss Nelson, Gabriel Martinelli, Cedric Soares, Sead Kolasinac, dan Alexandre
Lacazette layak bermain di Liga Primer. Maitland-Niles perlu dimainkan sebagai
gelandang tengah, bukan bek sayap. Pemain-pemain pelapis memiliki determinasi
yang tinggi dan bermain tanpa rasa takut. Meskipun mereka tampil inkonsisten, setidaknya
mereka masih lapar akan kemenangan dan mau mengejar bola dengan konstan. Inilah
yang dibutuhkan tim ketika bertanding di kompetisi sesengit Liga Primer
Inggris. Menurunkan pemain pelapis yang lebih segar untuk memainkan kombinasi bisa
menjadi pilihan jika tidak berhasil mendatangkan gelandang serang di bursa
transfer Januari mendatang.
Syekh
Abdul Qadir Jaelani pernah menasihati kita, bahwa hendaknya kita menghadapi
masalah atau musibah dengan sabar dan tenang. Beliau juga berpesan agar tidak boleh
takut terhadap sesama manusia, karena sikap tersebut termasuk ciri orang
munafik. Kita sebagai suporter perlu sabar, mengingat Arsenal masih menjalani
masa transisi pasca mundurnya Wenger. Arteta perlu menghadapi dengan tenang,
supaya pikiran bisa lebih jernih sehingga ide dan solusi bisa muncul untuk
menyelesaikan masalah ini. Arteta juga tidak boleh takut untuk mencadangkan
pemain-pemain senior yang tidak tampil baik. Ini semua demi kebaikan tim. Saran
yang penulis berikan hanya merupakan salah satu opsi, yang mungkin bisa
membantu mendongkrak mental dan performa Arsenal saat ini. Intinya Arteta perlu
melakukan perubahan, supaya Meriam London bisa mengisi peluru-pelurunya yang tengah
kosong, demi meraih rentetan kemenangan kembali.
Komentar
Posting Komentar